Pages

Minggu, 30 Mei 2010

Haikal...

HAIKAL…

Suasana sedang sunyi di dalam sebuah kamar, seorang pemuda sedang asik dengan bukunya ketika tiba-tiba “Drrrt… Drrrrt…” sebuah Handphone bergetar di atas meja tua yang terletak di samping sebuah ranjang. Pemuda itu segera mangambilnya, berniat menyambut panggilan yang masuk itu, tapi belum sempat dia berbicara, terdengar suara batuk dari kamar sebelah. Segera dia memanggil adiknya agar melihat keadaan Ibunya.
“Hallo.” sambut pemuda itu.
“Mision impossible...” seseorang dengan suara berat sedang berbicara padanya.
“Tapi, saya belum setuju untuk bergabung......” pemuda itu sedikit ragu, mungkinkah dia benar-benar akan melakukannya.
“Iya atau tidak?” tanya pemilik suara berat itu lagi tegas. Pemuda itu berfikir sejenak, suara batu terdengar lebih keras dari kamar sebelah. Inilah jalan terbaik….yah, hanya ini jalan satu-satunya..
“Iya..” jawaban itulah yang kemudian keluar dari mulut pemuda tadi dan telpon langsung terputus. Sebuah SMS kemudian masuk, menjelaskan semua yang harus dia kerjakan besok pagi.
“Bang, Ibu bang…” terdengar suara adiknya memanggil dari kamar sebelah. Pemuda itu segera menuju kamar sang Ibu yang terletak tepat di sebelah kamarnya.
“Ada apa Ran?“ tanyanya sambil mendekati adik dan Ibunya itu. Matanya melihat Ibunya yang masih sedikit batuk dan tetap terbaring lemah di ranjangnya. Rani mengajak Haikal keluar dari kamar itu agar sang Ibu tak perlu mendengar percakapan mereka.
“Ibu demam Bang dan batuknya juga tak kunjung sembuh. Tadi Ibu malah batuk sampai mengeluarkan darah.“ Kata Rani sambil menunjukkan saputangan yang dia gunakan untuk membersihkan mulut Ibunya tadi.
“Bang Haikal harus membawa Ibu ke rumah sakit besok...“ sambung Rani lemah. Haikal menatap adiknya itu, dikecupnya kening Rani, “Iya Ran, kita akan bawa Ibu ke rumah sakit besok..“ bisiknya. Rani hanya diam sambil menatap ke arah Ibunya yang mulai kembali mencoba tidur di dalam kamar. Semoga besok mereka benar-benar bisa membawa ibu ke rumah saki...
*****
Matahari belum juga menampakkan dirinya ketika Haikal sudah siap di meja makan. Rani bangun lebih pagi untuk menggantikan tugas Ibunya, dia terpaksa dibuat sibuk subuh ini karena abangnya mau berangkat pagi-pagi. Rani mulai memasak nasi goreng untuk abangnya sedangkan Ibunya, Ibunya masih terbaring lemah di kamar.
“Bang, nanti kalau Ibu batuk lagi bagaimana?“ tanya Rani sambil meletakkan sepiring nasi goreng dan secangkir teh ke atas meja makan. Haikal tersenyum ke arahnya.
“Kemungkinan siang nanti abang sudah dapat uang, jadi nanti sore kita sudah bisa bawa Ibu ke rumah sakit.“ Kata Haikal sambil menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Abang sudah dapat kerja? Dimana bang?“ tanya Rani sedikit kaget, bukankah sampai tadi malam abangnya masih menjadi seorang pengangguran setelah di-PHK oleh sebuah pabrik industri rumahan yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan produk Cina yang sekarang mulai merajai pasar Indonesia sejak AFTA diberlakukan, dan sekarang mereka hanya bergantung dari hasil warung kecil yang ada di depan rumah mereka.
“Iya sudah, semalam teman abang SMS katanya abang bisa kerja sama dia dan dapat gaji harian, jadi nanti sudah bisa dapat uang.“ Jawab Haikal yang kemudian buru-buru menghabiskan tehnya.
“Kerja apa memangnya bang?“ kata Rani sambil menatap abangnya heran.
“Mengantar barang.... Sudah, abang mau berangkat dulu. Nanti abang bisa telat.“ Kata Haikal sambil beranjak dari kursinya, Rani menyalaminya.
Sebelum berangkat Haikal sempat masuk ke kamar Ibunya dan mencium kening Ibunya yang masih tertidur. Sebentar lagi Ibu akan sembuh, Haikal janji Ibu akan sembuh....
*****
Awan berarak-arak dan burung-burung bernyanyi pagi itu seakan-akan ikut merasakan kebahagiaan Rani karena sang abang sudah memperoleh pekerjaan. Rani sedang asik memasak sambil bersenandung ketika tiba-tiba suara gelas pecah mengagetkannya. Segera Rani berlari ke arah sumber suara itu dengan cemas.. Ibu....
Rani kaget ketika menemukan Ibunya sudah terbaring lemah di samping tempat tidurnya, sekuat tenaga Rani berusaha mengangkat kembali tubuh Ibunya yang lemah itu ke atas ranjangnya.
“Ibu kenapa?“ tanya Rani ketika sudah berhasil membaringkan tubuh Ibunya kembali ke tempat tidurnya, untunglah Ibunnya tidak terluka. Sang Ibu hanya menatapnya sendu.
“Ibu hanya ingin minum....“ jawab Ibunya lemah. Rani tersenyum getir, bahkan dalam keadaan lemah dan sakit pun Ibunya masih ingin mandiri. Rani segera mengambilkan segelas air minum untuk Ibunya dan kemudian membantu Ibunya minum.
“Mulai sekarang kalau Ibu perlu apa-apa, Ibu panggil Rani, yah. Ibu terlalu lemah untuk melakukan semuanya sendiri. Jadi, biarlah Rani yang membantu Ibu.“ kata Rani sambil meletakkan gelas air minum itu ke meja yang ada di samping ranjang Ibunya. Ibu Rani hanya tersenyum tipis dan kemudian mengangguk lemah.
Rani baru saja hendak kembali ke dapur ketika tangannya ditahan oleh Ibunya. Rani menatap Ibunya yang tiba-tiba terlihat sangat pucat, wajahnya semakit terlihat lelah.
“Rani... “ panggil Ibunya. Rani menatap Ibunya dalam, “Iya bu. “
“Haikal mana Ran?“ tanya Ibunya lemah. Rani langsung duduk di sampingnya, menggenggam tangan Ibunya yang tiba-tiba bergetar.
“Abang... abang Haikal sudah berangkat kerja bu.“ jawab Rani getir. Ibu Rani diam, sepertinya sedikit kecewa ketika mendengar bahwa anak laki-lakinya itu sudah pergi dan Rani bisa mengerti itu dari pancaran sinar di wajahnya yang semakin redup, seakan-akan mentari tak bersinar untuknya hari ini.
“Nanti siang abang pulang bu, dan mungkin nanti sore kita sudah bisa membawa Ibu ke rumah sakit.“ Ibu Rani hanya tersenyum getir mendengar jawaban Rani. Rani terdiam melihat senyum itu, beda.. senyum itu sangat beda dari biasanya. Senyum itu terlihat pahit, pahit sekali sampai-sampai Rani ingin menangis melihat senyum yang ada di wajah orang yang paling dia sayangi itu. Segera ia keluar dari kamar itu, dia takut kalau air matanya jatuh seketika itu juga di depan Ibunya. Terdengar dari dalam kamar Ibunya kembali batuk, air mata Rani tumpah seketika itu juga.
Ibu...ibu harus bertahan... Ibu harus sembuh...
*****
Haikal sampai di tempat tujuannya, sebuah gang sempit di kawasan padat penduduk. Seorang teman sudah memberitahukannya tentang apa yang mesti dia lakukan, dia hanya bertugas mengambil barang di ujung gang ini lalu memberikannya kepada seeorang yang telah menunggunya ditempat yang lain, hanya itu dan sepertinya sangat mudah. Haikal berjalan perlahan menyusuri gang sempit yang terlihat kumuh itu. Sesekali dilihatnya pemandangan yang sangat mengoyak hatinya, pemandangan yang tidak pernah dia bayangkan, tempat apa ini sebenarnya?....
“Tekhein.“ Kata seseorang yang baru saja menabrak dirinya. Haikal tersadar, segera dijawabnya sapaan yang merupakan kata sandi itu. “Tekhein…” sebuah paket kecil berbentuk kubus berukuran 10x10 cm segera berpindah tangan ke tangannya. Walau sedikit kaget, Haikal akhirnya bisa bersikap normal seolah tak terjadi apa-apa, dia segera memasukkan paket itu ke dalam tas sandang yang dia pakai dan kemudian dia berjalan cepat ke arah lain yang berbeda dengan orang yang menabraknya tadi. Dia harus mengantarkan paket itu secepatnya tanpa ketahuan siapa pun, begitulah perintahnya.
Haikal mempercepat langkahnya ketika dia sudah ada di tempat yang dia tuju, ditelitinya setiap sudut tempat itu untuk mencari seseorang yang memegang handphone dengan tangan kirinya seperti yang diganbarkan oleh SMS semalam. Matanya berhasil menemukan orang yang dimaksud, seorang pemuda dengan pakaian kasual sedang menatapnya sambil mengangkat handphonenya dengan tangan kiri. Haikal segera menghampirinya.
“Hai Jason..“ sapa Haikal bersikap seolah-olah menyapa pemuda itu. Pemuda itu tersenyum ke arahnya dan kemudian menyambutnya dengan uluran tangan. Haikal menyambut uluran tangannya itu dan kemudian berdiri tepat di hadapannya.
“Kiriman ada?“ tanya laki-laki yang di panggil Jason tadi. Tanpa pikir panjang Haikal mengangguk dan kemudian mulai merogoh tas sandangnya. Dia ingin semuanya cepat selesai dan dia bisa segera mendapatkan uang untuk membawa Ibunya ke rumah sakit.
Haikal baru saja ingin menyerahkan paket itu ketika tiba-tiba suasana berubah kacau, suara sirine polisi mulai membahana, Haikal kaget.. dia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi, segera dia berlari kenang. Sebuah tembakan peringatan cukup mengagetkannya, tapi dia tak peduli. Dia tak boleh tertangkap, dia harus membawa Ibunya ke rumah sakit hari ini... Tiba-tiba sebuah tembakan mengenai kakinya, dia sempat terseok tapi dia tetap berlari sampai akhirnya sebuah pukulan telak mendarat di tengkuknya. Dan semuanya menjadi gelap seketika.
*****
“Ibu...“ panggil Haikal ketika mendapati sesosok perempuan yang sangat dia kenal itu sedang duduk di sebuah bangku taman. Ibunya berbalik menghadapnya, dia memandang Haikal lembut. Tanpa aba-aba Haikal langsung menghambur memeluk Ibunya itu, Ibunya sehat, sangat sehat.. bahkan sang Ibu dapat membalas pelukan Haikal itu.
“Haikal...“ Haikal melepaskan pelukan ibunya, ditatapnya wajah sang ibu yang terlihat tadinya berseri sekarang berubah menjadi sedikit sedih.
“Iya bu.“
“Kenapa Haikal?“ tanya sang ibu. Haikal menatap Ibunya heran. Apa yang dimaksud sang Ibu dengan ‘Kenapa?‘. “Kenapa kamu melakukannya?“ sambung sang Ibu. Haikal mengerti, matanya mulai berkaca-kaca, ibunya tahu dia telah melakukan kesalahan.
“Maafkan Haikal Ibu. Haikal hanya ingin ibu sembuh. Haikal akan melakukan apapun agar ibu bisa sembuh.. Haikal akan melakukan apapun untuk bisa membawa Ibu ke rumah sakit.“ Kata Haikal sambil menunduk. Sang ibu tersenyum mendengar jawaban polos anaknya tersebut. Dielusnya kepala anak laki-lakinya itu. Haikal terdiam seketika mencoba menikmati tiap elusan itu.
“Maafkan Ibu.“ Lirih sang Ibu. Haikal menatap ibunya, dua mata bening itu terlihat sedih.
“Maafkan Ibu jika Ibu menjadi alasan kamu melakukan semua itu Haikal. Sungguh Ibu tak pernah menginginkan kamu melakukan semua itu. Ibu jauh lebih bahagia terbaring lemah dibanding sembuh dengan menggunakan uang itu.“
“Ibu...“ Haikal tak sanggup meneruskan kata-katanya, lidahnya keluh seketika. Harusnya dia sadar sejak awal, harusnya dia tak pernah melakukan semua itu dengan alasan apapun, apalagi demi alasan Ibunya, seseorang paling mulia di hidupnya.
“Ibu hanya ingin kamu dan Rani selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang selalu berusaha ibu tempuh, jalan yang Ibu ingin capai ujungnya,.“ Ibu terdiam sesaat, menatap wajah Haikal yang terlihat menyesal sekarang.
“...dan itu bukan jalan yang kamu tempuh sekarang Haikal...“ Tiba-tiba sang ibu berdiri dan mulai berjalan meninggalkannya. Haikal kaget, dia berusaha berlari mengejar ibunya. Tapi, semakin cepat dia berlari, sang Ibu malah semakin jauh meninggalkannya.
“Maafkan Haikal bu....maafkan..“ Haikal kemudian hanya bisa terduduk lesu menatap kepergian Ibunya.
*****
“Abang...“ lirih Rani ketika kembali dilihatnya sang kakak mengalirkan air mata. Rani benar-benar tak tega melihat keadaan abangnya sekarang, semua tubuhnya luka-luka. Rani masih tak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Abangnya, yang dia tahu Abangnya hanya pergi bekerja. Tapi... tapi kemudian seorang polisi menghubunginya dan mengatakan bahwa abangnya ada di rumah sakit.
Perlahan Haikal membuka matanya, dilihatnya Rani sedang menangis sambil menatapnya. Seketika itu juga tiba-tiba seluruh anggota tubuhnya terasa sakit. Tapi dia tak perduli, hanya satu yang dia pikirkan sekarang.
“Ibu..“ lirih Haikal. Rani mendekatkan dirinya kepada Haikal dan kemudian menggenggam tangannya. Ada rasa yang ingin tumpah seketika itu juga ketika Haikal menyebutkan kata itu.
“Ibu dimana Ran?“ tanya Haikal lagi, tiba-tiba dia merasa suatu hal buruk telah terjadi pada ibunya. Bukankah dia tadi bermimpi baru saja ditinggal Ibunya, akankah itu tandanya.....
“Rani... Ibu dimana???“ Haikal mulai panik karena Rani tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Ibu, ibu sudah pergi bang.“ Lirih Rani lemah. Tak sanggup rasanya bila dia harus berbohong menutupi semua yang terjadi, abangnya pasti akan lebih sedih lagi nanti. Seketika itu juga Haikal tak dapat menahan kesedihannya. Air matanya mengalir deras di kedua pipinya, ingin sekali rasanya dia tak percaya pada ucapan Rani. Tapi… Rani tak mungkin berbohong untuk hal ini. Haikal sendiri melihat bagaimana Rani berusaha tegar, bagaimana Rani menggigit bibirnya sebelum mengatakan itu, dan sekarang Haikal sendiri bisa merasakan Rani juga terpukul ketika serta merta Rani memeluknya dan kemudian terisak dalam pelukannya. Mereka hanya bisa menangis sekarang, menangisi kepergian orang yang paling mereka cintai. …..Ibu……
*****
Matahari bersinar cerah dan hangat hari ini, udara pun terasa lebih segar dari biasanya. Haikal berhenti sejenak, dihirupnya udara dan dirasakannya hangatnya mentari hari ini. Dia kemudian melanjutkan langkah kakinya melewati sebuah pintu yang menjadi batas terakhirnya sekarang. Di balik pintu itu, seorang gadis manis tengah tersenyum menatapnya. Hari ini adalah hari kebebasannya, dan hari ini jugalah yang menandai terbayar sudah semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu.
Haikal menghampiri Rani dan kemudian memeluk adik perempuan satu-satunya itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki sekarang.
“Abang gendutan yah..“ komentar Rani ketika Haikal melepaskan pelukannya. Haikal kemudian mencoba meneliti bentuk badannya sendiri. Benarkah dia bertambah gendut?
“Kelihatannya.... ini pipinya tambah cubby..!“ Lanjut Rani sambil mencubit pipi Haikal. Haikal mengerti sekarang, sang adik hanya sedang menggodanya, segera dikejarnya Rani yang mulai berlari riang. Sudah tiga tahun dia tak dapat bercanda dengan adiknya itu. Semuanya karena dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Perbuatannya yang berupa sebuah kesalahan fatal karena dia sudah menjadi kurir narkoba…
*****
Haikal duduk di sebelah sebuah pusara, ditatapnya pusara itu sendu. Ini adalah tempat peristirahatan terakhir Ibunya.
Ibu…. Maafkan Haikal. Maafkan Haikal atas segala perbuatan yang telah Haikal lakukan. Haikal sudah menebus semuanya, bu. Hari ini, Haikal sudah bebas. Haikal sudah selesai menjalani hukuman atas kesalahan Haikal. Haikal harap ibu juga sudah memafkan Haikal..
Maaf telah membuat ibu kecewa.
Mulai saat ini Haikal akan selalu berusaha untuk berjalan di jalan yang lurus itu bu, jalan yang selalu ibu tunjukkan kepada Haikal… jalan yang selalu ibu tempuh, agar kelak Haikal dapat mencapai ujung jalan yang sama dengan ibu nantinya…
Maafkan Haikal, bu… semoga Ibu bahagia di ujung jalan yang indah itu….. syurganya.
Haikal menghapus air matanya, ditatapnya kembali pusara itu. Semuanya telah berakhir…. Semoga ini adalah awal baru yang lebih indah. Haikal memejamkan matanya sesaat, mencoba merasakan sesuatu yang beda, mencoba merasakan kehadiran Ibunya di sana.
Seukir senyuman tiba-tiba hadir ketika Haikal memejamkan matanya.
“Ibu sudah memaafkanmu, Haikal…”

________The end________

Yuliana Indriani, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar