Pages

Rabu, 10 November 2010

ada dan selamanya (sahabat)



Ada dan selamanya..



..”tak ada sahabat selamanya...”...

Aku masih menenggelamkan wajahku dalam, mencoba menekan semua perasaan sedih dan kecewa yang mulai menyiksaku. Pipiku basah, napasku tak teratur, tapi yang lebih parah adalah aku merasakan ada yang sakit didiriku. Yah, hatiku sakit. Ada gemuruh besar yang mengguncang semua pertahananku dan entah bagaimana mengatakannya, ini benar-benar menyakitkan..

Bulir-bulir air mata itu masih mengalir membetuk aliran yang semakin deras di kedua pipiku, ini benar-benar tak pernah aku harapkan, kali ini mataku semakin pedih. Aku ingin mengakhiri rasa yang menyakitkan ini, tapi sakit di hati ini benar-benar membuat aku tidak berdaya. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bagaimana bisa aku kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku? Dan bagaimana bisa aku bertahan?

“huh... lagi-lagi ada yang menangis di sini? Apa tak ada tempat yang benar-benar damai di bumi ini?..” kata-kata yang terdengar penuh ejekan itu tiba-tiba saja mengagetkanku.

Aku menoleh ke arah suara itu, masih dengan mata yang merah dan aliran air mata yang belum sempat aku hapus. Aku pikir tak kan ada orang di tempat ini.. tapi, dia..

“sudah menangisnya anak kecil? Aku yakin ini pasti hanya masalah sepele. Aku heran kenapa orang mudah sekali menangis hanya karena hal sepele..” kali ini kata-katanya itu terdengar seperti pertanyaan sinis.

Aku diam, memandang tajam ke arah seseorang yang menyebalkan ini. Dia benar-benar menyebalkan, dalam keadaan bagaimanapun harusnya orang akan prihatin atau bahkan merasa iba kalau ada yang menangis, paling jahat juga cuma akan pura-pura tidak peduli. Tapi dia... huh!

“kau memang anak kecil, sudah hapus air matamu dan pergi dari sini. Menatapku seperti itu? Huh, kau kira aku akan kasihan padamu? Pergilah, aku benci orang menangis dihadapanku.” Kata-katanya itu membuat aku benar-benar tak bisa menahan emosiku. Dia menganggu singa yang sedang terluka, itu kesalahan besar!

“Hey! Kau kira kau siapa? Orang dewasa? Kau sendiri hanya seorang bocah laki-laki sok dewasa yang menyebalkan!!” aku berteriak dihadapannya , menatap tajam matanya dengan penuh kemarahan.

“hh... terserah kau saja, aku tak suka berdebat dengan anak perempuan kecil yang cengeng dan menyebalkan. Kalau kau masih mau di sini, terserah. Aku sudah malas, kau bisa si sini sampai kapanpun.” Dia beranjak pergi dari taman ini, dengan caranya yang angkuh dan menyebalkan. Aku benci dia.

***

Aku sedang berjalan dengan lemas menuju rumahku, perlahan ku alihkan pandanganku ke sebuah rumah yang ada persis di hadapanku, aku tak tahu apa itu tapi yang pasti hatiku rasanya dihujam dengan sebuah paku besar yang benar-benar membuat aku tak mampu bertahan lebih lama untuk berdiri. Aku berlari sekuat yang ku bisa meski ku tahu aku tak bisa mengubah semuanya dengan hanya berlari masuk ke rumahku.. karena ku tahu setelah ini aku hanya akan sendirian.

“kamu?...” aku baru saja mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah ketika aku menemukan dirinya sedang duduk di ruang tamu. Dia hanya tersenyum kepadaku.

“iya, maaf yah yang kemarin. Gak seharusnya aku berkata kasar ke kamu.” Dia masih tersenyum kepadaku. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini?

“aku tahu kamu masih marah, tapi maaf aku tetap tak bisa mengubah semuanya. Maaf, aku tetap harus pergi. Aku harap kamu gak marah lagi, karena bagiku kamu adalah teman terbaik.. sahabat selamanya.” Kali ini aku merasa senyumnya itu tak berarti apa-apa. Aku tak mau mendengar lebih banyak lagi tentang semua ini, maka aku hanya bisa berlari menuju kamarku dan mengunci diri di sana.

“ kamu.. bagaimana bisa kamu bilang kalau kamu gak akan selamanya bersamaku? Bagaimana bisa kamu pergi begitu saja? Kamu bilang kita sahabat.. tapi bagaimana bisa kamu seperti itu? Kamu gak mau berteman denganku lagi.. kamu cape dengan semua persahabatan kita. Dan sekarang, kamu bilang kamu harus pergi. Sahabat macam apa itu?”

Aku menangis sejadi-jadinya, aku tetap tak pernah bisa menerima semua ini terjadi. Ares menginggalkanku begitu saja? Aku tidak bisa percaya. Dia yang selalu bersamaku semenjak kelas 1 SMP, sekarang dia mau pergi begitu saja ketika baru saja lulus SMP, oh ini begitu menyakitkan. Mimpi kita masih panjang, kita bermimpi untuk selalu bersama sampai kapanpun, SMA di sekolah yang sama lalu lulus dan kuliah juga di fakultas serta universitas yang sama. Bahkan bekerja nanti pun kita tetap ingin bersama. Lalu kenapa sekarang dia memilih pergi?

“cha.., dengerin aku dulu..” ares bicara dari balik pintu kamarku, suaranya seperti menyesal. Tapi percuma kalau dia masih berniat pergi.

“cha, kamu harus ngerti. Kadang kita memang tak bisa selalu bersama. Dan kali ini, mungkin memang kita harus berpisah.. tapi kamu tetap sahabatku selamanya.” Kali ini ku dengar suaranya sedikit melemah, entah karena dia juga merasa sedih atau memang dia sudah akan pergi.

“kamu sendiri yang bilang res, kalau sahabat gak akan ninggalin sahabatnya. Kamu pembohong!” aku hanya bisa melampiaskan semua yang aku rasakan hanya dengan cara ini berteriak sekuat yang ku bisa. aku benar-benar benci merasakannya, kecewa, sedih, marah.. aku benci ares!

“cha... mengertilah. Maafin aku. Aku harus pergi, jaga diri yah cha. Jangan nangis lagi, semoga nanti aku bisa main ke sini lagi. Maaf cha..” ares sepertinya sudah menyerah sekarang, yah dia menyerah dan meninggalkanku. Tapi jika benar harus berpisah, apa harus berakhir seperti ini? Aku berlari menuju pintu, membuka kunci pintu kamarku dan berlari keluar untuk menemui ares, setidaknya aku ingin ada salam perpisahan yang dapat aku kenang.

“cha, maaf...” aku hanya diam menatap ares, walau aku ingin sekali bicara banyak hal tapi kali ini aku ingin diam, aku hanya ingin melihatnya lebih lama.. mencoba menyimpan semua kenangan dan juga gambar dirinya dalam hatiku sebagai sahabat terbaikku.

Dan dia pergi, yah pergi begitu saja meninggalkan aku.. sahabatnya. Mungkin ini saatnya aku percaya bahwa tak ada sahabat selamanya yang akan selalu bersamaku.

***

Aku berjalan perlahan menuju belakang sekolahku, yah ini sekolah baruku. Sebuah SMA dimana aku tinggal sendiri... tanpa Ares. Kaki ku terus melangkah, tadi aku sempat melihat halaman belakang sekolah dari jendela kelas, halaman yang sepi dan tenang. Aku rasa ini akan menjadi tempat yang menyenangkan, terutama jika aku hanya ingin sendiri menatap awan. Aku duduk di rumput, dibawah sebuah pohon yang cukup rindang, mataku memandang lurus ke arah awan yang terlihat indah itu, sesaat aku merasa ares masih ada di sampingku mencoba mengangguku dan melakukan banyak ke konyolan dihadapanku.

“mau nangis lagi anak kecil?” suara itu... aku mengarahkan pandanganku ke arah belakangku, seseorang yang menyebalkan itu ternyata sedang duduk dengan santai bersender ke pohon yang juga jadi tempat aku berteduh. Sejak kapan dia ada di situ?

“lagi-lagi menatapku seperti itu. Dasar anak kecil..” dia terlihat acuh dan kemudian sibuk dengan ipone-nya.

“hhuh!.” Aku tidak habis pikir ada orang seperti ini di dunia. Dia harusnya ada di planet lain.. dasar Alien!

“hey, kalau kau hanya mau menatapku seperti itu lebih baik kau pergi dari sini. Itu sungguh mengangguku. Tadinya ku kira anak kecil sepertimu hanya mau menangis sendirian lagi di sini, tapi kalau kau sudah mengangguku seperti ini lebih baik kau pergi..” dia, berkata dengan sangat cuek bahkan tanpa menatapku seperti itu, dia pikir dia siapa?!

“kamu pikir dirimu siapa? Pemilik tempat ini? Seenaknya saja mengusir orang!!” aku sedikit berteriak kepadanya, gayanya yang seenaknya dan seperti orang gila mengayun-ayunkan tangan sambil menikmati musik dari iponenya itu sungguh membuatku kesal.

“hah? Apa aku butuh alasan untuk mengusirmu? Kau sendiri yang harusnya tahu diri. Aku sudah dari tadi ada di sini, dan kau tiba-tiba datang mengusik pemandanganku serta menatapku seperti itu. Sekarang kau bilang aku tak berhak mengusirmu? Dasar anak kecil!.”

“berhenti memanggilku anak kecil, aku punya nama!”

“oh ya?? Siapa? Anak kecil....” dengan penekanan di kata ‘anak kecil’, aku merasa dia benar-benar orang yang menyebalkan. Aku rasanya ingin menyumpal mulutnya dengan daun-daun kering ini.

Aku diam, lalu dengan keyakinan melangkahkan kakiku melewatinya. Aku pergi dari tempat itu, percuma memperpanjang masalah dengan orang yang menyebalkan ini. Kalau aku bertahan lebih lama, mungkin dia yang akan pergi dan menertawakan aku seperti kemarin sebagai anak kecil. Aku tak ingin dia menganggapku seperti anak kecil.

***

“elang? Jadi namanya elang? Hm.. senior yang paling terkenal karena sikapnya yang seenaknya dan juga karena nilainya yang benar-benar hancur.” Aku bergumam dalam hati ketika teman-temanku, sesama anak baru di SMA ini, sibuk membicarkan anak laki-laki menyebalkan yang sedang di hukum di lapangan upacara itu karena ketahuan membolos. Aku heran dengan teman-temanku ini, padahal mereka tahu elang bukan anak yang baik, rajin membolos, seenaknya dan juga tak punya rekor bagus di pelajaran, tapi masih saja mereka membicarakan dengan heboh orang seperti itu. Mereka bilang dia itu keren? Huh! Apanya yang keren? Tunggu sampai mereka melihat ares, aku yakin mereka tak bisa berhenti bicara sedetik pun.

Aku kembali duduk berteduh di bawah pohon di halaman belakang sekolah, mencoba untuk menenangkan diri. Yah.. aku merindukan ares. Apa yang sedang dia lakukan di sana yah? kenapa dia belum mengabariku? Terakhir minggu lalu dia menelponku semalaman untuk mengeluhkan sekolahnya dan teman-teman barunya. Tapi semenjak itu tak ada lagi kabar, apa sekarang dia sudah punya sahabat yang lain?

“eh anak kecil, sudah nongkrong aja di sini. Kali ini beneran gak niat nangis kan?” lagi-lagi suara itu... apa yang dia lakukan? Bukankah beberapa saat yang lalu dia masih di hukum?

“hey, sudah berapa kali ku bilang jangan menatapku seperti itu! Ini tempatku, sudah satu tahun aku selalu ke sini, jadi jangan harap aku akan merelakan tempat ini jadi tempatmu, apa lagi kalau hanya digunakan untuk menangis.” Dia tersenyum mengejek kepadaku, sungguh benar-benar gila kalau aku masih bisa bertahan di sini.

“baguslah kalau kau berniat pergi. tempat ini akan kembali tenang tanpa kehadiranmu di sini.” Mendengarkannya telingaku rasanya sakit, tidak bisakah dia diam saja. Tapi dibilang seperti itu entah mengapa aku tak rela, lagi pula harus ada yang menghentikan dia berbuat seenaknya seperti ini. Maka aku kembali duduk di tempatku. Anehnya dia diam sekarang, mungkin sudah kehabisan kata-kata untuk mengejekku. Yah dia sudah tidak punya alasan.

Aku kembali menatap awan, dan entah apa yang dikerjakan elang yang menyebalkan itu yang pasti sekarang suasananya tenang. Bel tanda istirahat terdengar dari kejauhan, ini saatnya kembali ke kelas, aku membersihkan seragamku dari rumput dan dedaunan kering. Aku baru saja berniat melangkah menuju kelasku ketika ku dapati sosok yang menyebalkan itu sedang tertidur dengan damai, hm.. kalau dia diam seperti ini dia jadi terlihat berbeda. Ide jahilku muncul seketika, entah karena aku masih kesal atau malah sedikit merasa nyaman karena melihatnya yang begitu berbeda aku langsung mengambil setumpuk daun kering lalu dengan tiba-tiba ku jatuhkan di wajahnya

“bangun!! Masuk kelas woyyy!” lalu secepat kilat aku kabur, ku lihat di belakang dia sedang marah-marah sendiri membersihkan rambut dan seragamnya dari daun-daun kering yang tadi aku jatuhkan.. rasakan!

***

Aku sedang di kamarku dengan handphone di telingaku, yah... ini ares, dia sedang menelponku dan menceritakan sekolah barunya yang menyebalkan dengan segala tugas yang menyebabkan dia tak punya banyak waktu luang, tapi demi mendengar ceritaku... dia menelpon, ares masih yang terbaik.

“jadi gimana cha di sekolah barumu yang baru? Seru yah..?”

“gak asik.” Aku hanya menjawab pendek, yah memang kenyataanya kesan yang aku dapat dari sekolah baruku hanya itu, ‘gak asik’.

“loh kok gitu, yah.. harusnya kamu ke sini aja kalau di sana gak asik.”

“heh, mana punya uang aku nyusulin kamu ke amerika!”

“yah...” ares terdegar sangat kecewa. Yah aku juga kecewa dengan hal ini, hanya karena keluarga kita berbeda kita jadi terpisah begini. Ayah ares benar-benar ingin ares mendapatkan pendidikan terbaik untuk mempersiapkannya sebagai pewaris perusahaannya, dan aku.. yah aku cukup kuliah di sini saja agar tak terlalu memberatkan orang tuaku. Dan jadilah aku hanya bisa mengutuki perbedaan yang memaksa kami terpisah.

“eh, tapi di sini ada yang lebih nyebelin dari pada kamu res. Bener-bener bikin aku kesel setengah mampus deh tuh orang, masa iya dia selalu manggil aku ‘anak kecil’, apaan coba?.. trus..”

“wait... tunggu dulu cha, aku nyebelin??” dia terdengar sangat tidak yakin dengan apa yang dia dengar. Hey, kau kira dirimu bergitu sempurna?? Dasar ares!

“hehehe, dikit res.. tapi yang ini suer deh aku rasanya bisa gila kalau tersu-terusan ketemu dia.”

“lah, masa dia berani sama cha-cha yang ban hitam?”

“yeay.. mana dia tahu aku ban hitam, masa iya aku pake tulisan ‘awas ban hitam’ dijidat sih res? Ada-ada aja, dikira herder ntar.”

“hahhahaha beneran jadi kangen kamu deh cha.”

“halah... bisanya cuma ngomong doang. Kalau kangen yah pulang dong ke sini!”

“belum bisa, maaf cha.... Eh, lanjut lagi tuh cerita orang nyebelin yang lebih nyebelin dari aku itu..” aku diam sejenak, ternyata kita memang terpisah jauh, dan entah kapan kamu baru akan pulang ke sini.

“cha...”

“oh iya res, namanya itu elang.. dia itu senior yang gak banget. Kerjaannya bolos mulu, seenaknya aja ngomong dan bersikap dan aku dengar sih dia hampir aja gak naik tahun lalu.”

“elang? Kamu sekolah di SMA yang waktu itu kita janjian daftar bareng kan?”

“he.. eh. Kenapa res?”

“oh, gak. Cuma sepertinya aku tahu dia.”

“serius res? Kok bisa sih kamu kenal sama orang yang kayak gitu?”

Dan akhirnya aku tahu semua tentang elang.. hm, ternyata dia berbeda. Yah berbeda.. dan aku rasa ares benar, dia mungkin tidak seburuk yang aku kira. Dari cerita ares sih, elang memang punya sesuatu yang spesial..

***

Bel istrirahat baru saja berbunyi beberapa saat yang lalu, aku kembali melangkahkan kakiku menuju halaman belakang sekolah. Entah kenapa walau disana mungkin akan ada elang lagi, aku tetap ingin ke sana. Hanya di sana aku bisa kembali merasa tenang dan bisa melihat awan.

“hm.. anak kecil sudah datang. Yah.. mari kita saksikan dia akan menatap awan dan dengan matanya yang bersinar-sinar itu mungkin kali ini dia akan menangis lagi di sini.” Elang ternyata sudah duduk dengan nyaman di bawah pohon itu ketika aku mengambil tempat jauh di depannya. Sepertinya dia masih kesal karena kejadian kemarin.

“huh.. yah setidaknya aku masih lebih baik ketimbang elang yang justru selalu takut ruang sempit.” Dia terlihat kaget mendengar kata-kataku, aku berhasil kali ini! Thanks ares!

“dari mana kau tahu tentang hal itu?” tanya elang yang sepertinya tak bisa menebak dari mana aku tahu hal ini. Yah ares sendiri bilang, kalau elang adalah tipe orang yang tertutup, tak banyak yang orang tahu tentang dirinya.

“hm.. apa yang tidak aku tahu? Kau pasti terkejut anak kecil ini ternyata tahu banyak hal.” Kali ini aku ingin membalas semua keangkuhannnya yang menyebalkan itu.

“anak kecil, sejak kapan kau belajar lebih berani.. bukankah biasanya kau hanya bisa menangis?” elang.. kau salah besar jika meremehkanku kali ini.

“hahaha, masih mengira aku anak kecil biasa. Dasar elang, BIG MAN, aku bahkan tahu kalau kau takut ketinggian! Pantas saja kau tak bisa memanjat pagar sekolah ini untuk kabur jika membolos.”

Kali ini ku lihat wajahnya merah padam, dia pasti benar-benar tidak menyangka aku tahu phobia-phobia yang tak terlihat dari sikapnya yang cuek itu, tapi inilah kenyataannya.. aku tahu semua itu.

“anak kecil....” sepertinya dia geram dengan sikapku, harusnya dia mengerti betapa tidak enaknya diperlakukan seperti itu.

“aku bukan anak kecil, jadi berhentilah memanggilku anak kecil. Aku punya naman, cha-cha.. dan kau harus berhenti memanggilku seenaknya seerti itu.”

Dia menatapku begitu saja, lalu pergi.. yah aku kira elang sudah mengetahui kalau aku bukan anak kecil biasa seperti yang dia kira, dan semoga dia berhenti memanggilku anak kecil.

***

Awan sedang terlihat indah hari ini, aku kembali duduk di tempat biasa, di bawah pohon, di halaman belakang sekolah.. elang? Hah dia pemalas sekali, siang-siang begini dia bisa dengan santainya tidur di sini. Bagaimana kalau guru menemukannya, dasar bodoh. Dia pasti akan kena hukum lagi.

“hey PRSPT! Bangun... kau tak bisa lihat awan seindah itu? Kau malah memilih tidur!”

Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, mungkin sedikit kaget dengan teriakanku. Lalu beberapa detik kemudian dia mengacak-acak rambutnya dan duduk di sampingku.

“hey anak kecil! Apa maksudmu PRSTUV itu tadi.. kau belajar mengeja?” orang ini.. baru saja bangun tidur sudah membuat kesal, kalau tak ingat kata-kata ares mungkin sudah ku bantai.

“PRSPT!”

“iya apalah itu.. kau mencoba mengeja namaku? Namaku itu E.L.A.N.G!”

“garing dodol! P.R.S.P.T itu... Penakut Ruang Sempit Penakut keTingian.” Lalu ku julurkan lidahku padanya. Dia mengacak-acak rambutnya, mungkin dia kira aku sudah melupakan semua yang aku tahu.. huh mana mungkin!

“berhenti mengumumkan pada dunia tentang phobiaku! Dasar anak kecil.!” Dia terlihat kesal, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur tahu semuanya.

“fine, asal kau juga berhenti memanggilku ‘anak kecil’. Ok?” dia terlihat ragu. Tapi kemudian,

“okay cha-cha..” aku tersenyum puas.

Dan begitulah... kami kemudian menjadi teman, yah ares benar dia tak seburuk yang aku kira.. dia spesial.

***

Elang sedang duduk di sampingku, masih menikmati alunan musik dari iponenya. Ku lirik dia sekilas, dia masih terlalu asik dengan dunianya sendiri. Ku tarik salah satu earphonenya.

“hei.. ada apaan sih cha? Lagi chorus-nya nih..”

“aku mau nanya lang, kenapa sih kamu selalu seenaknya? Sekolah kamu gak kamu urusin sama sekali, kamu Cuma malsa-malasan gini, belum lagi sikap kamu ke orang-orang. Kenapa sih? Gak mungkin kan gak ada sebabnya.” Dia masih terlihat cuek.

“elang!!” aku sedikit berteriak di sampingnya.

“iye.. apaan sih nanya gituan. Gak penting banget.”

“serius itu kenapa? Padahal kata kamu kamu tuh gak bodoh.” Aku sengaja mengingatkannya pada kata-katanya sendiri tentang dirinya bahwa nilai jebloknya itu bukan karena dia bodoh.

“karena aku gak suka, itu aja.”

“hah? Kok bisa? Kalau kamu gak suka, ngapain kamu masih sekoalh disini lang?” aku tetap tak percaya, walau sudah tahu semua ceritanya dari ares aku tetap tak percaya elang benar-benar melakukannya hanya karena dia gak suka.

“bukan tempatnya yang disini yang gak aku suka, tapi aku gak suka ada di kelas seperti di sini, kau tahu.. aku lebih tertarik pada seni, pada alam dan pada kebebasa. Tapi sekolah disini benar-benar membosankan, semuanya diatur.. disiplin, nilai-nilai, aku lelah dengan semua hal yang menurutku tidak terlalu penting ini. Nilai bukan hanya soal kemampuan kau menjawab soal cha, tapi nilai harusnya ketika kau berhasil menyelesaikan sebuah persoalan.”

“hah?” aku sedikit tidak mengerti dengan jalan pikiran elang yang aneh ini. Dia menundukkan kepalanya, sepertinya sedikit menyesali diri.

“makanya aku gak mau cerita sama anak kecil.. kau belum ngerti apa-apa, nak.” Sedetik kemudian elang berdiri dari tempat duduknya.

“mau kemana lang, ih main tinggal.. katanya temenan?”

“mau ke kelas... ada kelas kesenian.” Dia tersenyum ke arahku.. yah hanya dengan kelas kesenian dia bisa begitu senang dan bersemangat masuk ke kelas.

...Aku gak tahu apa ini benar... tapi rasanya ares benar, kamu berbeda tidak sebeuruk yang aku kira pertama kali dan berteman denganmu mungkin menyenangkan...

***

Aku datang ke halaman belakang dengan wajah yang di tekuk-tekuk. Yah aku sedang kesal kali ini, gosip itu benar-benar mengangguku. Bagaimana mungkin aku dan elang... dasar anak-anak kurang kerjaan!

“woy cha.. itu muka kenapa? Kusut amat, mau disetrika?” bagaimana bisa dia masih becanda seperti ini. Dasar elang, yah aku lupa dia cuek setengah mati. Mana peduli dia hal beginian.

“gosip tentang kita, gak kesel?”

“hah? Kau ini.. katanya bukan anak kecil lagi, tapi hal sepele gitu aja udah dibikin pusing. Dasar cha-cha.” dia terlihat santai dan dengan santai menyuruhku duduk di sampingnya.

“iya tapi kan, tetep aja ganggu. Annoying banget sih. Bahkan temen-temen deketku pada ngeselin semua. Mereka malah bilang yang macem-macem tentang aku. padahal mereka teman, bisa-bisanya teman seperti itu.”

“hey, jangan nangis gara-gara ginian. Gak mutu banget deh cha.” Dia terlihat memperhatikan ekspresi wajahku yang masih terlihat sangat kesal.

“siapa juga yang mau nangis? Cuma... ah, aku cuma kecewa aja sama semuanya, mereka sekarang sudah tak seperti teman. Lalu harus gimana?”

“cuekin aja.”

“yey! Situ sih enak bisa cuek. Lah aku... mana bisa.”

“denegrin aku deh cha, kalau memang mereka begitu yah udah gak usah peduliin mereka dan hapus semua ingatan tentang yang mereka omongin tentang kamu.”

Aku diam sesaat, yah mau bagaimana lagi. Elang benar, percuma juga aku bersih keras kesal dan marah-marah sendiri, mending juga dicuekin.

“yah udah.. aku ada kerjaan, dah cha-cha..”

Dia pergi. yah sepertinya ada yang sedang dia kerjakan entah apa itu.. semoga saja sesuatu yang baik, sesuatu yang bisa membuat dia bahagia menjalaninya.

***

Aku lihat di pengumuman... ada kabar gembira. Elang juara! Yah dia.. walau bukan juara kelas, dia hebat! dia juara lomba menulis lagu. Dan itu tingkat nasional!

Aku mencoba menemuinya di halaman belakang sekolah, tapi dia tidak ada.. aku bingung kemana lagi dia kalau bukan di sini?.. hm, kelas seni.

Aku melangkahkan kakiku menuju ruang seni, ku lihat banyak siswa sedang menyalami elang karena keberhasilannya. Aku hanya melihatnya dari jauh... yah mungkin ini masih saatnya dia bersama yang lain karena keberhasilannya atas sesuatu yang memang bisa membuat dia bahagia, sesuatu yang dia sukai.

Aku kembali ke halaman belakang, menunggunya.. yah mengunggu hanya untuk menyampaikan selamat padanya, tapi kenyataannya dia tak pernah datang. Bahkan sampai selanjutnya.

“entah apa salahku.. dia pergi begitu saja. Lagi-lagi aku kehilangan orang yang paling dekat denganku.. tapi kali ini lebih menyakitkan, tanpa kata..”

***

Aku bukan tak berusaha mencarinya, aku bertanya pada teman-temannya, pada guru-guru tapi yang aku dapat hanya keterangan dia sudah pindah sekolah.

Ini menyakitkan, kau tahu... ini benar-benar menyakitkan. Ketika aku sudah mulai percaya bahwa akan ada sahabat yang selamanya akan bersamaku dan sekarang dia pergi. Lebih menyakitkan lagi kali ini, karena aku pernah menceritakan semua yang aku rasakan termasuk aku benci ketika ditinggalkan.. terutama oleh orang yang paling dekat denganku, sahabatku. Tapi kenyataanya dia sendiri yang melakukannya, aku tidak percaya!

Ares menghubungiku ketika sudah beberapa kali aku menghubunginya tetapi tak pernah bisa, aku menceritakan semua yang terjadi. Dia diam.. mungkin kaget, tapi harusnya dia tahu lebih banyak hal dibandingkan aku.. karena elang adalah kakaknya.

“Cha..” suara itu. Itu elang... jadi dia ke amerika juga? Oh hebat sekali dua orang kakak beradik ini. Aku baru saja ingin menutup telpon itu ketika elang tiba-tiba teriak.

“Berhenti jadi anak kecil cha..!” air mataku jatuh tiba-tiba. Dia... bisa-bisanya dia masih bicara seperti itu kepadaku.

“cha, maaf aku salah karena pergi tiba-tiba. Tapi ini juga bukan karena kemauanku. Aku mungkin memang pemberontak, tapi kali ini tak bisa... kau harus tahu, ini tanggung jawabku. Aku tak bisa mementingkan diriku sendiri sekarang.”

“cha, maaf.. aku tahu kau kecewa. Tapi kau sendiri yang pernah bilang kalau aku tak boleh terus menerus menjadi pemberontak. Kau sendiri yang bilang bahwa aku harus bahagia, atau setidaknya membawa kebahagiaan untuk orang lain.”

“hm.. kau tahu cha, kau bukan anak kecil biasa.. ares sudah menceritakan semuanya. Kau sangat luar biasa, teman terbaik yang pernah kami miliki. Maaf cha... tap kau tetap harus mengerti satu hal..” dia seperti menarik napas sejenak, lalu ku dengar suara itu menjadi dua... yah ada dua suara yang selanjutnya bicara padaku.

“sahabat ada selamanya, meski tak bersama bukan berarti selesai. Kau sahabat kerbaik cha, sahabat kami selamanya..”

Air mata itu masih mengalir deras dan semakin deras, bagaimana bisa aku kehilangan dua orang sahabat terbaikku. Bagaimana bisa? tak bisa..

“cha, ku mohon jangan menangis hanya karena ini. Nanti setelah semuanya selesai aku rasa kita pasti bisa kembali ke sana. Untuk terus bersamamu,..”

“okay anak kecil, dewasalah! Karena kau harus belajar menghadapi persoalan bukan hanya menghadapi soal-soal. Karen hidup tak selamanya sama dengan yang kita inginkan.”

Yah aku harus merelakan keduanya.. kedua sahabatku itu, mereka punya kehidupan sendiri yang harus mereka jalani. Aku tak mungkin memaksa mereka mejadi pemberontak dan membuat orang tua mereka sedih, sahabat yang baik tidak seperti itu.. sahabat yang baik adalah yang selalu mendukung sahabatnya.

“Ok, PRSPT dan ares.... awas aja yah ntar gak balik-balik.. aku susulin ke amerika ntar!”

Terdengar dari jauh ares bertanya pada kakaknya apa itu PRSPT dan elang malah balik marah ke ares ketika menyadari pasti adiknya itu yang sudah membocorkan rahasia hidupnya kepadaku..

... sahabat ada selamanya... meski tak bersama, tapi akan selalu ada...

*** the end***



Teruntuk sahabat-sahabatku... thanks all

Love you guys.

*buat cha-cha.. pinjem nama yah.. habis keinget kamu dan elang ketika nulis ini. Hehhe gak papa yah. maaf kalau gak suka, tapi dari pada elangnya sama yang lain?? Hehehe :D



Yuliana indirani

9/11/2010 23:19

3 komentar:

  1. tiap cerpen, kok kayaknya aku yg paling semangat baca dan komentar paling atas ya kak? hehehehe. Ngomong-ngomong, tokoh elangnya mirip bgt sama temen aku loh ;))

    BalasHapus
  2. hehe gak tau juga, mungkin karena yang lain udah baca dan komen di fb kali yah.. ^_^

    oh ya? menyenangkan dong :P

    BalasHapus
  3. temen aku itu nyebelin bangeeeeet, selalu bilang kalo pinter itu gak penting. tp setelah baca ini mungkin dia emang beda kali ya?

    BalasHapus