Pages

Senin, 21 Juni 2010

From Sivia's Notes 10

Hai all…. Ini lanjutannya, maaf yah pendek, semoga part selanjutnya bisa lebih panjang. Enjoy….

From Sivia’s Notes … 10

Desiran angin pagi itu berhasil mengoyang-goyangkan rambut Gabriel yang jatuh lemas karena kepalanya tertunduk, dia sudah kehabisan tenanganya sekarang. Setelah berteriak dan meluapkan semua kekesalannya dia sekarang terduduk dengan posisi kepala menunduk di tengah taman yang sepi itu. Dari arah timur, Matahari mulai menebarkan sinar hangatnya, namun tak cukup membuat hangat batin Gabriel,.. dia berubah menjadi sosok sedingin es sekarang. Matanya hanya memancarkan sinar redup dan sendu. Perlahan dia bangkit, masih dalam diam dia berjalan kembali menuju motornya..
Gabriel baru saja hendak kembali ke motornya ketika handphonenya berdering, entah kenapa.. sepertinya tiba-tiba batinnya merasakan sebuah perasaan yang sangat mengganggu. Kemudian perasaan itu memaksanya untuk menerima panggilan di handphonenya, meski hatinya sendiri lebih memilih untuk menonaktivkan handphone itu. Untuk sejenak gabriel bimbang, jarinya ragu untuk memilih dua buah tombol yang saling bersebrangan itu terlebih ketika dia melihat nama yang tertera di layar handphonenya.. tapi akhirnya dia memutuskan menekan salah satu tombol itu lalu mendekatkan handphone itu ke telinganya.
“Gabriel... ayah.......“ sebuah suara dengan penuh isak tangis mulai berbicara.
Tak begitu jelas kata-kata yang gabriel tangkap, tapi yang pasti hatinya hancur seketika itu juga. Dia tak tahu apa-apa lagi, yang dia tahu dia hanya harus memacu motornya secepatnya kembali ke rumah.
Gabriel diam terpaku, tubuhnya lemah seketika, tulang-tulangnya terasa melepuh, rapuh dan tak mampu menahan tubuhnya, wajahnya pucat dan dia hanya bisa diam terpaku ketika menatap seseorang yang pagi tadi menepisnya itu kini terbaring kaku, seseorang yang sangat dia sayangi meski sering bertentangan dengannya itu kini tak berdaya lagi, seseorang... seseorang yang menjadi satu-satunya orang tua kandungnya yang masih hidup itu kini...... kini pun telah meninggalkan dirinya sendirian.
Gabriel masih diam, sinar di matanya yang sejak tadi redup dan sendu sekarang bahkan tak tersisa lagi. Dia hancur, dia menangis sejadi-jadinya ketika tanah itu ditutup dan memisahkan dirinya dengan sang ayah untuk selama-lamanya, dan sampai semua itu terjadi dia tak sempat mengucapkan sebuah kata maaf... dan sepertinya dia memang tak akan mengucapkan satu kata lagi karena semenjak itulah dia hanya hidup dalam dunianya, dalam diam..
*****
Malam telah pekat, bintang-bintang sudah membentuk ribuan formasi indah di langit yang gelap, bahkan bulan pun sudah muncul untuk menggantikan sang mentari yang telah selesai tugasnya. Suasana duka masih meliputi rumah ini, meski tadi puluhan orang datang untuk memberikan do’a dan berusaha memberikan kekuatan agar duka tak perlu berlarut-larut.
Untuk kesekian kalinya pintu kamar gabriel di ketuk, tapi Gabriel sama sekali tak perduli. Dia hanya diam, terduduk lemah di samping ranjangnya dengan kepala tertunduk. Perasaan aneh itu tiba-tiba kembali menyerangnya, dan sungguh menyiksa batinnya. Dia sama sekali tak pernah membayangkan semuanya akan terjadi, dia masih belum bisa menerimanya..
Pertama ibunya… lalu sekarang ayahnya… mengapa semua orang yang sangat dia sayangi itu selalu diambil darinya? Apa salahnya? Ataukah benar dia harus menyalahkan wanita yang masih terus mengetuk pintu kamarnya itu? Menyalahkannya seperti yang selama ini dia lakukan. Tidak… mungkin memang dirinyalah yang paling bersalah. Ayah …. Ayahnya marah karena dirinya dan penyakit jantungnya pasti kambuh juga karena dirinya. Sedangkan ibunya, ibunya kecelakaan… bukankah waktu itu dia juga yang menyebabkannya. Meski selama ini dia terus menyalahkan wanita itu. Wanita yang menjadi istri ayahnya sekarang, tante tina, tante yang adalah sahabat ibunya sekaligus yang menyetir ketika kecelakaan itu terjadi. Tapi, bukankah dia yang memaksa ibunya pulang hari itu, padahal hari itu ibu masih ada pekerjaan di luar kota bersama tante tina, dan tante tina terpaksa harus ngebut hingga kecelakaan itu terjadi.
Jadi… semuanya sebenarnya adalah kesalahannya,.. kesalahan dirinya… kesalahannyalah ayah dan ibunya tiada sekarang. Semua adalah kesalaannya…
“Gabriel.... buka pintunya sayang, seharian ini kamu belum makan..“ suara lembut itu, meski terdengar serak sehabis menangis namun suara itu menunjukkan betapa pemilik suara itu sungguh berusaha keras menahan semua perih di batinnya.
Tak ada jawaban, gabriel masih diam. Matanya hanya menatap kosong karpet yang terbentang di depannya. Pikirannya kacau.. perasaan bersalah itu kembali menyiksa batinnya.
Wanita di balik pintu itu hanya bisa menghelakan napasnya sambil sesekali menahan isak tangis yang seolah-olah akan pecah lagi.
“Iel.. ayah gak akan senang kalau kamu begini terus. Kamu harus makan...“
Tak ada jawaban, hanya sebuah bantingan benda keras yang terdengar dari dalam kamar itu. gabriel kembali meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk sekedar melampiaskan kekesalannya, dia masih belum bisa menerima semuanya.. belum bisa menerimanya... terutama karena ayahnya pergi ketika dia tak ada di sisinya dan terlebih lagi dialah yang membuat ayahnya pergi.. dan dia juga yang menyebabkan ibunya pergi... semua itu kesalahannya. Matanya kemudian menatap datar pada pecahan-pecahan kaca dari sebuah pigura gambar dirinya yang dia lemparkan tadi.
“Gabriel.... ibu mohon jangan hancurkan apapun lagi. Ibu mohon buka pintunya gabriel...“ airmatanya mulai mengalir, dia takut gabriel berbuat lebih nekat. Segera dipanggilnya mang ujang untuk mendobrak pintu kamar gabriel.
Benar saja gabriel hampir saja mengoreskan pecahan kaca pada pergelangan tangannya ketika pintu berhasil di buka. Tangan wanita itu segera menepis pecahan kaca dari tangan gabriel.
“PLAAK..!“ sebuah tamparan keras mendarat di pipi gabriel.
“Apa kamu sudah gila? Kamu boleh saja marah pada ibu! Marah pada diri kamu sendiri, tapi jangan pernah kamu berusaha membunuh diri kamu sendiri gabriel!! Kalau kamu marah, kamu boleh bentak ibu, kamu bahkan boleh menampar ibu! Ibu rela... asal kamu jangan pernah berfikir untuk menyakiti diri kamu sendiri!“ bibir itu bergetar ketika mengucapkan kata-kata barusan, tapi keyakinan dalam tiap kata itu tak tergetarkan, itu memang suara hatinya.. dan dia tidak berbohong dengan kata-kata itu.
Gabriel hanya diam, tangannya masih kaku.. tak ada reaksi, meski pasti dia masih bisa mendengarkan kata-kata barusan.
“Kamu berhak menyalakan ibu atas semua yang terjadi.... tapi jangan pernah kamu menyakiti dirimu gabriel, sungguh ibu hanya meminta itu. tolong ibu untuk tetap menjagamu seperti pesan ibumu..“
Dua buah tangan itu kemudian memeluknya erat, membiarkannya sejenak kemudian merasakan sebuah kehangatan yang sudah lama tak dia rasakan, membiarkan dia sejenak merasakan bahwa tak ada yang menyalahkannya atas semua yang terjadi. Namun, gabriel diam tanpa membalas sedikitpun pelukan hangat itu..

***** bersambung*****

_Yuliana Indriani_

Koment please.... saran dan kritik juga ditunggu.. please,, thanks udah mau bacanya. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar