Pages

Minggu, 25 Juli 2010

from sivia's notes 11

Hai all… wah udah 1 bulan yah saya rehat nulisnya. Maaf yah. Semoga masih ada yang mau baca lanjutannya. Maaf yah pendek..
Just enjoy! Dan jangan lupa di koment. ^_^

From Sivia’s Notes 11

Semilir angin sore itu kembali mengusik poni sivia untuk kesekian kalinya. Perlahan sivia membereskan poninya yang sedikit berantakan tapi matanya masih saja menatap Gabriel yang sedang menceritakan masa lalunya itu. Gabriel berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya pada sosok cantik yang sedari tadi mendengarkan dengan sabar semua ceritanya. Kemudian, sebuah senyuman terukir tulus di wajahnya.

“Maaf kalau aku terpaksa membuatmu mendengarkan semua itu.” Kata Gabriel sambil tetap tersenyum ke arah sivia. Sivia segera membalas senyumannya.

“Gak perlu minta maaf mas.. via malah seneng karena mas Gabriel udah mau cerita.”
Gabriel kembali mengukir sebuah garis melengkung tipis dengan bibirnya ketika mendengar jawaban dari sivia.

“Aku mau kamu membantuku vi..”

“Membantu mas Gabriel? Apa yang bisa via Bantu mas?” kata sivia sedikit heran sambil menatap lembut ke arah Gabriel.

Gabriel diam sejenak, mengalihkan pandangannya dari wajah sivia yang masih menatap heran ke arahnya.

“…. Hm.. udah sore. Kamu pulang aja dulu. Besok kita bicarakan lagi..” setelah beberapa saat hanya kata-kata itu yang akhirnya keluar dari bibir Gabriel. Sungguh ada perasaan kecewa yang melanda hati sivia seketika itu juga. Perlahan sivia menghelakan napasnya, ia tak ingin memaksa Gabriel mengatakan tentang apa yang sebenarnya bisa dia bantu. Gabriel sudah mau cerita banyak sekali sore ini saja sudah begitu menyenangkan bagi sivia.

“ Besok aku akan mengatakannya. Ku lihat temanmu sudah cape menunggu kita dari tadi. Lihatlah dia terlihat letih menunggumu dengan skuter pink-nya itu.” Kata Gabriel sambil memandang ify yang sudah siap dengan skuternya, menunggu di depan taman. Sivia mengikuti arah pandangan Gabriel dan menyadari bahwa ify terlihat letih dan sudah tak sabar lagi. Gabriel tersenyum ketika melihat wajah sivia mulai panik, sivia jadi tak enak sendiri pada ify, tapi mau bagaimana lagi.. tak mungkin meninggalkan Gabriel begitu saja.

“Pulanglah… aku bisa kembali ke kamar sendiri.” Kata Gabriel yang seolah mengerti perasaan sivia.
“Gak mas, biar sivia antar mas Gabriel dulu.” Perlahan sivia melepas rem kursi roda Gabriel dan kemudian mengantarnya menuju kamar melati.

“Thanks for listened to me, via. nice talk with you.. see you tomorrow.” Kata Gabriel ketika sivia sudah akan meninggalkan kamarnya. Sivia membalikkan badannya dan tersenyum manis ke arah Gabriel.

“you’re welcome.”

***
“Hayo loh yang pacaran…. Lama bener di taman, sampe lupa kalau ini sudah sore dan bentar lagi maghrib!” goda ify ketika via sudah siap berdiri di depan skuter matik pink miliknya itu. Tapi via hanya diam dan sesaat kemudian tersenyum sendiri. Ify menatap heran ke arah temannya yang sekarang malah serta merta mulai berjalan ke arah gerbang rumah sakit, menginggalkan dirinya tanpa rasa berdosa sama sekali.

“… via,..! hey! Kamu mau kemana?” kata ify sambil meraih bahu sivia. Sivia kemudian perlahan menoleh ke arah ify.

“Pulang.. kemana lagi?” kata via dengan polos.

“Ha? Kenapa gak bareng? Aku kan dari tadi nungguin kamu..”

“Habisnya kamu malah ngobrol sama pohon cemara. Aku kira masih lama, jadi daripada aku kesorean mending aku jalan sendirian.” ify geleng-geleng kepala mendengar jawaban asal yang keluar dari bibir sivia.

“Dasar! Kamu sebenarnya udah tau kan kalau aku ngegodain kamu? Gitu deh kalau mau digoda, pinter banget nyerang balik, bikin mood aku hilang aja buat ngegodain kamu. Yah udah, pulang yuk..” kata ify yang setengah menyerah sambil kemudian menstarter skuter matiknya.

“ayuk pulang… gak ada acara goda-menggoda yah hari ini. Cape soalnya. hehehe” kata sivia sambil tersenyum penuh kemenangan dan kemudian segera naik ke skuter itu. Ify hanya sedikit mencibir ke arah sivia. Kemudian, perlahan melajukan motornya keluar dari gerbang rumah sakit.

***

Di kamarnya, Gabriel masih duduk di kursi rodanya. Pikirannya jauh melayang pada sosok yang sekarang telah perlahan tapi pasti ada di hatinya. Dia sudah bertekad meminta bantuan sivia, dia harus melakukannya… sebelum semuanya terlambat.

***

Deru suara berisik terdengar dari mesin kereta yang perlahan berhenti di sebuah stasiun itu membangunkan seorang ibu yang tanpa sadar telah tidur selama beberapa jam perjalannya. Perlahan dia mengemasi barang-barangnya, tak banyak memang, hanya sebuah tas dan juga jaket yang segera dia pakai karena udara sore itu sudah mulai dingin. Yah, daerah ini memang dingin karena terletak di daerah kaki pengunungan. Ibu itu berjalan perlahan keluar dari kereta yang penuh sesak.

“Kak Tina!” sebuah suara terdengar nyaring diantara banyak suara yang memenuhi stasiun itu.

Perlahan ibu itu menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang perempuan berkerudung putih tengah melambaikan tangan ke arahnya dia tersenyum melihatnya. Adik kecilnya itu kini terlihat seperti seorang ibu yang bahagia dengan seorang anak perempuan lucu yang ada di sampingnya. Perlahan dia berjalan mendekati adik kesayangannya itu.

“Kakak…kenapa sudah lama sekali gak pulang ke sini..” kata adiknya sambil memeluk ibu tina dengan erat.

“Kakak belum punya waktu, mi.” jawab ibu tina sambil melepaskan pelukannya dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah seorang lelaki di samping adiknya itu.

“Apa kabar tian?”

“Baik kak..”

Setelah sedikit melepas kangen dengan adik dan iparnya, Bu tina ikut ke rumah adik satu-satunya yang selisih umurnya 10 tahun dari bu tina.

Selama perjalanan, bu tina lebih banyak diam. Dia sedang merangkai kata untuk menyampaikan niatannya. Sedikit malu sebenarnya, tapi harus dia lakukan. Mungkin memang dia harus mempersiapkan semuanya, mempersiapkan kekuatannya untuk menceritkan semuanya.

***

Perlahan mobil keluarga Tian berhenti di rumah mungil sederhana, Istana mereka.

“Sudah sampai.. mari kak turun.” Ajak rahmi. Perlahan Bu Tina turun dari mobil kijang berwarna hijau keluaran tahun 1995 itu, matanya memandang lurus ke arah rumah sederhana itu. Mungkinkah? Tapi segera ditepisnya beberapa pertanyaan pesimistik yang mulai menyelimutinya.

“Mari kak, masuk..” kata tian sambil mengendong si kecil yang tertidur, membawanya masuk ke dalam rumah tanpa membangunkannya. Bu tina tersenyum ke arah iparnya itu.

“Kakak istirahat saja dulu di kamar Lisa, biar lisa tidurnya nanti sama kami. maaf yah kak kamarnya kecil.” Kata rahmi sambil membuka pintu sebuah kamar dengan nuansa biru dan beberapa boneka kecil.

“Gak apa-apa rahmi.. kakak malah mau berterima kasih banget sama kamu.maaf jadi merepotkan.”

“Ah kakak, rahmi malah seneng banget kakak mau ke sini. Tapi maaf kak kalau terlalu sederhana.” Kata rahmi sambil tersenyum, dia paham benar kalau kakaknya itu terbiasa hidup mewah. Dulu bu Tina adalah wanita karir dan kemudian menikah dengan konglomerat kaya, duda dengan satu anak. Mungkin tinggal di rumah ini akan sangat jauh dari bayangan kakaknya itu. Bu Tina hanya tersenyum. Belum saatnya dia membuka semuanya.. sebaiknya dia memang istirahat dulu sekarang.

Rahmi kemudian meninggalkan bu Tina sendirian di kamar lisa. Membiarkan kakaknya itu beristirahat sejenak setelah mengalami perjalanan jauh, terlebih kali ini dia tidak menggunakan mobil pribadinya.. kakaknya pasti cape sekali.

***

Bintang bertaburan dengan indahnya, membentuk jutaan formasi mengagumkan yang menghiasi langit malam yang tengah dipandang oleh dua bola mata indah sivia. Bersama hembusan angin malam dititipkannya salam rindu buat ibunya yang dulu amat suka memandang bintang bersamanya.

Perlahan dia menutup jendela kamarnya dan mulai duduk di ranjangnya. Tanggannya kemudian meraih diary coklat dan sebuah pena yang ada di atas lemari kecil di dekat ranjangnya itu.

Detik kemudian, tangannya mulai menari-nari menuliskan pengalamannya hari ini, kejutan-kejutan yang dia dapat hari ini, dan yang pasti adalah cerita masalalu Gabriel yang secara mengejutkan Gabriel ceritakan hari ini.

Tangannya kemudian mulai berhenti menulis. Tanpa sivia sadari dia mulai berfikir, mulai menyusun semua kejadian yang terjadi selama ini tentang pasien yang sejak awal dia anggap special itu.

Semuanya mulai sedikit jelas baginya, penyebab selama ini mengapa Gabriel diam dan juga sikap dinginnya kepada ibunya sendiri.. perlahan dia mulai mengerti dan semuanya terasa lebih masuk akal, tapi masih ada yang mengganggu pikirannya. Sebenarnya Gabriel mau dia membantu apa?

Sivia perlahan menutup diarynya dan perlahan meletakkannya kembali di samping ranjangnya sambil kemudian membaringkan tubuhnya. Dia mulai mengusir semua tanya yang mulai merasukinya tentang apa yang sebenarnya Gabriel mau dia lakukan, toh besok dia juga akan tau. Tapi apapun itu sivia berharap dia bisa melakukannya. Dia mulai memejamkan matanya dan berdo’a dalam hati. Beberapa saat kemudian dia sudah pergi ke alam mimpinya yang indah.

****bersambung****
Thanks udah mau baca.. kritiknya ditunggu. dan tetep tungguin lanjutannya yah. ^_^

Sankyou
_Yuliana Indriani_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar