Pages

Kamis, 16 September 2010

bulan sabit di hatiku

Bulan Sabit di hatiku..

Detak jantungku berpacu dengan waktu, aku benar-benar tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padanya, pada seseorang seperti dia. Tanpa pikir panjang ku raih tas ranselku dan kemudian berlari secepatnya, aku tak perduli ketika bu Shelly memanggilku, aku tak peduli ketika puluhan pasang mata teman-teman sekolahku menatapku dengan tatapan aneh, aku juga tak peduli dengan pak satpam yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menahanku. Aku hanya peduli pada Dia...

Aku mengetuk-ngetukkan kakiku dengan gelisah. Di tanganku sebuah gantungan kunci berbentuk bulan sabit tergenggam dengan erat. Aku diam.. hanya sedang menundukkan kepala dan berdo’a untuknya, dia, seseorang yang paling berharga dalam hidupku.

***
Aku pertama kali bertemu dengannya ketika kami sama-sama baru masuk SMA, 3 tahun yang lalu. Saat itu aku hanyalah seorang anak pemalu yang belum punya teman meski masa orientasisudah aku lewati, masa orientasi adalah masa dimana kita biasanya pertama kali mendapatkan banyak teman.. tapi kenyataannya sekarang aku belum mendapatkan satu temanpun. Awalnya aku bertekat untuk bisa mempunyai banyak teman di sekolah baruku ini, tapi ternyata aku hanya bisa mendapati diriku mengalami takdir yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya di sekolah lamaku, aku sendirian. Di kelasku, pertemanan sepertinya hanya milik anak-anak yang berparas sangat cantik, sangat pintar atau setidaknya sangat pandai memuji dan mengambil hati dengan pura-pura sok kenal. Aku tidak termasuk dalam kategori itu. Aku pemalu.. parasku tak cukup cantik, walau nilaiku tidak bisa dibilang jelek tapi aku pasti takkan pernah bisa jadi anak pintar yang populer di sekolahku karena teman-teman di sekolah baruku ini adalah siswa-siswa pilihan yang mungkin jauh lebih pintar dariku, aku juga tak pandai memuji atau sekedar mendekatkan diri pada orang lain dengan gaya sok kenal dan sok asik, entahlah aku selalu merasa jijik bila memuji atau mendekatkan diri hanya karena ingin dijadikan teman.

Dan disinilah aku, di bangku paling sudut di kelasku yang baru, sendirian dan menyedihkan. Tapi, sepertinya aku tak sendiri. Mataku tertuju pada seorang anak perempuan cantik yang hanya diam dibangkunya yang ada di depanku. Tangannya sibuk mencorat-coret selembar kertas, entah apa itu.. tapi dia sendirian. Aku tak tahu apa yang memaksaku untuk menegurnya, tapi sepertinya dorongan itu sangat kuat hingga dengan bergetar akhirnya tanganku mampu menyentuh pundaknya.

“hai..” aku mencoba ramah, memberanikan diri dengan menekan semua rasa malu, sungkan dan mungkin sedikit jijik atas sikapku yang mulai ingin sok kenal.. tapi tidak, aku bukan ingin sok kenal dan sok asik, aku hanya ingin menegurnya, bukankah dia senasip denganku, masih sendirian setelah masa orientasi selesai.

Anak perempuan itu perlahan menoleh kepadaku, diam.. dan kemudian kembali pada kertas gambarnya yang terlihat abstrak. Aku bingung, kaget, dan juga sedikit kesal padanya. Apa maksudnya dengan menatapku dingin lalu kemudian diam dan mengacuhkanku? Apa aku mengganggunya.. bodoh, mana mungkin dia mau bertemna denganku lagi kalau kesan pertamanya saja sudah sangat tidak enak seperti ini.

Aku kembali diam, duduk manis di bangkuku sambil menatap iri teman-teman lain yang sudah mulai akrab. Mengapa aku tak pernah bisa punya teman seperti mereka? Belum sempat aku menjawab pertanyaan hatiku dengan argumen yang sebetulnya akan lebih membuat aku depresi, anak perempuan yang tadi aku tegur dan mengacuhkanku tiba-tiba berdiri dan kemudian duduk di bangku yang ada di sampingku dan kemudian mengulurkan tangannya.

“aku alisa..” sebuah senyum tipis kemudian menghiasi wajahnya. Walau kaget aku akhirnya menjabat tangannya yeng ternyata penuh kehangatan.

“aku tiara.”

“maaf tadi aku sedang menyelesikan projek.” Kali ini alisa bicara sambil memasukan buku sketsanya ke dalam tas. Aku hanya mengangguk pelan dan kemudian tersenyum padanya, “gak papa kok.”

***

Alisa adalah teman pertamaku di sekolah ini dan mungkin juga menjadi satu-satunya teman dekatku. Dia memang berbeda, tak seperti anak-anak yang lain yang malah enggan berteman dengan diriku karena terkesan membosankan dan gak gaul, alisa malah tak pernah bosan bersama denganku. Kami selalu besama, saat di kelas, di kantin, saat tugas kelompok, saat piket dan kapanpun kami selalu bersama. Alisa, dia anak yang menyenangkan, baik, cantik, pintar, setia kawan, dan yang pasti dia bisa menerimaku apa adanya, dia sempurna. Hanya saja alisa sangat misterius bila sudah menyangkut buku sketsanya, dia bahkan tak memperbolehkan aku menyentuh buku sketsanya itu.

Alisa .. meski dia punya segala hal untuk jadi populer di sekolahku, dia tak pernah ingin populer. Dia tak pernah merasa dirinya cantik, pintar apalagi membanggakan dirinya. Baginya dia adalah dirinya apa adanya, dia tak pernah peduli tentang semua anggapan teman-teman tentang diirnya.

“Hayo loh lagi ngapain sa?” aku mendapati alisa sedang duduk sendirian di sisi lapangan basket dengan buku sketsanya, cepat tangannya menutup buku itu dan kemudian tersenyum ke arahku.

“Masih menyelesaikan proyek.” Katanya sambil tetap tersenyum manis. Aku menghelakan napasku, ini adalah satu-satunya jawaban alisa setiap kali aku bertanya tentng aktifitasnya bersama buku sketsanya itu, harusnya aku tak perlu bertanya lagi karena alisa pasti tak akan menjelaskan ada proyek apa dia sebenarnya. Dia hanya akan tersenyum lalu kemudian dengan pintar mengalihkan topik pembicaraan kami.

“Sa, tahu gak tentantang apa yang temen-temen lain bicarakan dibelakang kamu, tentang kamu dan buku sketsamu itu?” dia menggeleng kecil, tersenyum lalu kembali mentap lurus ke arah lapangan basket yang sedang ramai karena siswa-siswa laki-laki biasanya memang mengisi waktu istirahat dengan main basket.

“Aku gak peduli ra.”

“Senapa? Sa, semua orang menganggap kamu aneh dan misterius. Bahkan ada yang bilang kalau buku sketsamu itu yang telah menyihirmu. Apa kamu mau terus-terusan hanya berteman dengan aku?”

Dia diam sejenak, “Apa kamu tak ingin terus berteman denganku?”, pertanyaan itu benar-benar membuat aku kaget, aku tak bermaksud seperti itu, memiliki alisa sebagai satu-satunya temanku adalah hal paling membahagiakan dalam hidupku, tak pernah terpikirkan sama sekali di benakku untuk bosan dan berhenti berteman dengannya, dia tak tergantikan.

“Bukan begitu sa,.. tapi.....”

“Ra, aku tahu kamu begitu peduli padaku.. hanya saja, Aku tak pernah peduli tentang apa yang mereka bicarakan tentangku, aku hanya peduli pada teman yang bisa menerimaku apa adanya.. karena aku hanya mencari teman sejati..” perlahan dia bangkit dan kemudian mengulurkan tangannya padaku.

“Suatu saat kamu akan berteman juga dengan buku sketsaku ini ra, tapi ku mohon.. biarkan aku menyelesaikan proyekku ini dulu.” Perlahan aku mengangguk dan kemudian kami kembali tersenyum bersama.

***

Bulan sabit, selain buku sketsa alisa juga sangat identik dengan bulan sabit. Hampir semua yang dia miliki mempunyai aksen bulan sabit, kalaupun bukan barang asli yang punya aksen bulan sabit, dia membuatnya sendiri. Dia, juga memberikan satu buah gamtungan kunci bulan sabit yang indah kepadaku di hari ulang tahunku.

“apa ini sa?” tanyaku ketika alisa memberikan satu buah kotak kado dengan gambar bulan sabit.
“ini kado dari aku, selamat hari lahir ya ra..” kemudian dia mencium pipi kanan dan kiriku, aku benar-benar terharu. Tak pernah aku mendapatan kado spesial seperti ini. Terlebih ini dari seorang teman, sahabat, seseorang yang selalu aku mimpikan untuk memilikinya dulu.

“buka deh ra, aku harap kamu suka.” Alisa tersenyum ke arahku, aku menuruti sarannya. Perlahan jemariku membuka bungkus kotak kado itu, hati-hati sekali, karena aku tak ingin merusak benda berharga ini. Sebuah gantungan kunci bulan sabit yang sedang tersenyum terlihat sangat cantik ada di dalam kotak kecil itu, aku menatap alisa tak percaya.

“maaf ra, aku cuma bisa ngasih kamu ini..” kata alisa dengan nada sedikit menyesal.

“bicara apa kamu sa? Ini adalah hadih paling indah yang pernah aku terima.. aku benar-benar bahagia.”

Dia tersenyum kepadaku. Sungguh itu adalah saat-saat paling membahagiakan bagiku, aku berhutang banyak sekali rasa bahagia pada alisa.. dia memberikan banyak sekali tawa dan bahagia padaku.

***

Persahabatanku dan alisa semakin erat, aku tak lagi peduli meski aku tak punya banyak teman di sekolahku ini. Alisa benar, yang aku butuhkan adalah teman sejati dan aku sudah memilikinya.

Banyak hal yang kami lalui bersama, dari mulai dari belajar, belanja bahkan sampai urusan pribadi seperti keluarga. Aku sering main ke rumahnya, begitupun dirinya. Orang tuanya adalah orang tuaku dan orang tuaku adalah orang tuanya, kami sudah seperti saudara kandung.
Aku berbagi apapun padanya, aku selalu bercerita tentang semua yang aku rasakan dan dia selalu ada untuk mendengarkanku, meski terkadang aku merasa bersalah padanya karena selalu merepotkannya tapi dia selalu bilang dia senang, dia berjanji akan selalu ada utukku meski dia pernah mengingkarinya.

Sebuah surat dengan amplop putih ada di depan rumahku, entah siapa yang mengantar.. tadi hanya ada tiga kali ketukan dan ketika aku membuka pintu hanya surat itu yang ku dapat. Aku sedikit ragu untuk membukanya, mungkinkah surat itu salah alamat? Tak ada seorangpun yang mungkin akan mengirimkan surat padaku. Namun semua rasa ragu itu langsung berubah menjadi penasaran ketika ku dapati ada namaku tertulis jelas di amplop surat itu. Segera ku buka surat itu,

Untuk Tiara Anggia Paramitha,
Maaf kalau aku mengagetkanmu, sungguh aku juga tak ingin begini. Harusnya aku bicara langsung padamu. Tapi ra aku gak bisa..
Aku hanya ingin pamit,
Ra, aku harus menyelesaikan proyekku.. dan kali ini aku harus pergi sementara untuk itu.
Aku janji, setelah proyekku selesai aku akan kembali,
Ra, kamu jangan sedih.. tiara kan bukan anak cengeng. Lagi pula aku akan selalu ada bersamamu, bukankah kamu masih menyimpan separuh bulanku?
Bulan itu... dia yang akan mewakiliku untuk selalu menemanimu..
Take care yah tiara anggia paramitha, wish me luck for my last project.

Aku tak percaya alisa melakukan semua ini, aku segera menelponnya.. tak bisa dihubungi, papa dan mamanya juga. Aku segera mencarinya, mendatangi rumahnya, mencarinya di semua tempat yang mungkin menjadi tempat menyelesaikan proyeknya, dia tak boleh meninggalkanku seperti ini.. tapi hasilnya nihil, orang tuanya juga tak ada, rumahnya kosong dan semua tetangga tak ada yang tahu kemana mereka pergi..
Untuk pertama kalinya aku menangis karena alisa.

***

Hidupku tanpa alisa adalah sama seperti sebelum aku mengenalnya bahkan sepertinya jauh lebih buruk.. aku menjadi lebih pendiam dan tak punya seorangpun teman sebagai tempat berbagi. Semuanya terasa hampa, aku bahkan seperti kehilangan semangat hidup.. orang tuaku sempak khawatir dengan keadaanku, mereka selalu mencoba menghiburku, mengatakan kalau alisa pasti kembali dan akan bersamaku lagi. Tapi semua percuma, aku hanya ingin alisa.
Bagai hujan di penghujung kemarau, alisa sepertinya ingin menghiburku. Sebuah surat darinya kembali datang kerumahku, lagi-lagi hanya di letakkan di depan rumahku.. sepertinya dia mengutus seseorang untuk mengantarkannya..

Aku membuka surat alisa dengan cepat, berharap itu adalah surat yang mengambarkan kalau dia akan segera kembali ada di sampingku. Aku terdiam membaca surat itu,

TIARA ANGGIA PARAMITHA!!!!!
Hey!aku tak ingin mendengar kamu hancur hanya karena aku meninggalkanmu untuk sementara.
Kamu harusnya tetap tegar, tanpa aku kamu tetap tiara yang mandiri.. gak cengeng!
Tahukah kamu tiap har bulan bercerita padaku bahwa kamu sealu bersedih,
Itu sungguh membuat aku ikut sedih, aku jadi mengkhawatirkanmj.
Ra, aku mohon.. kamu harus semangat. Kalau kamu semangat, aku juga jadi gak khawatir dan mungkin akan lebih cepat menyelesaikan proyekku dan kembali bersamamu.
Oke tiara! Promise me.. kamu akan kembali semangat. Bulan akan selalu menjagamu untukku..
Bila kamu rindu padaku, genggam erat bulan sabit itu dan rasakan kalau aku akan selalu bersamamu.

***

Aku menepati janjiku pada alisa, aku tak pernah bersedih lagi.. aku berharap dia juga menepati janjinya untuk segera kembali menemaniku...

Aku sedang mendengarkan penjelasan bu shelly ketia hape di dalam sakuku bergetar, aku memang tak pernah mematikan hapeku di sekolah hanya ku getarkan, lagi pula tak pernah ada yang menelponku. Nama alisa berkelap-kelip di layar hapeku, tanpa pikir panjang aku mengangkat telpon itu sambil menyembunyikan kepalaku di balik buku matematika yang aku dirikan.

Sebuah suara yang aku kenal berbicara dengan sesegukan, mama alisa.. dia menyampaikan sebuah kabar yang membuat hatiku remuk redam. Detak jantungku berpacu dengan waktu, aku benar-benar tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padanya, pada seseorang seperti dia.

Tanpa pikir panjang ku raih tas ranselku dan kemudian berlari secepatnya, aku tak perduli ketika bu Shelly memanggilku, aku tak peduli ketika puluhan pasang mata teman-teman sekolahku menatapku dengan tatapan aneh, aku juga tak peduli dengan pak satpam yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menahanku. Aku hanya peduli pada dia... Alisa..

***

Alisa, dia ternyata tak pernah pergi.. dia selalu ada mengamatiku dari jauh. Mama alisa sudah mencaritakan semuanya padaku, alisa sudah berjuang sekuat tenaga untuk hari ini.. meski alisa bersih keras agar mamanya merahasiakan semua itu padaku tapi naluri mama tak pernah salah, dia yakin alisa membutuhkanku. Aku kembali memaksa supir taksi yang aku tumpangi untuk mempercepat laju taksinya, aku harus sampai tepat waktu..

Aku berlari sepanjang koridor rumah sakit sampai akhirnya aku tiba tepat waktu ketika alisa baru saja akan memasuki ruang operasi, maka aku langsung memeluknya.

“sa, kenapa kamu gak pernah bilang.. kenapa sa?” alisa sedikit kaget dengan kedatanganku, namun kemudian membalas hangat pelukanku.

“tiara, ini proyek pribadiku. Aku janji proyek ini akan selesai dengan indah dan kemudian aku akan kembali bersamamu.” Dia menghapus bulir-bulir air mata yang jatuh di pipiku. Dan kemudian melepaskan pelukanku kemudian tersenyum.

“kali ini kamu harus pegang janjimu.. kamu harus bisa melawan penyakitmu.” Aku mencoba menguatkan dirinya, dia mengangguk kecil dan kemudian tersenyum kearah aku, mama dan juga papanya.

***

Mama alisa perlahan duduk di sebelahku, dia kemudian memelukku dan berbisik di telingaku.

“maafkan tante yah karena selama ini merahasiakan semuanya, alisa yang minta.. oh iya, dia ingin kamu melihat ini.” Sebuah buku sketsa kemudian di serahkan kepadaku. Buku ini adalah buku sketsa yang selama ini selalu dibawa alisa..

Perlahan aku membuka cover buku itu, hanya ada sebuah gambar abstrak disana gambar abstrak yang aku lihat sedang digambar alisa ketika kami pertama berkenalan, tidak.. itu bukan gambar abstrak, itu adalah gambar seorang anak perempuan dengan arsiran gelap yang cukup menyembunyikannya, sebuah tulisa tertera dengan indah dibawah gambar itu, “aku selalu merasa esok duniaku akan berakhir tanpa sempat aku memiliki seseorang untuk berbagi... tapi aku rasa aku menemukannya sekarang, dia tak marah ketika aku mengacuhkannya... dia memberiku ruang privasi aku harap dialah orangnya. Dan sepertinya aku takkan sendiri dan takkan sekelam ini lagi”

Lembar kedua, arsiran yang digunakan sudah lebih terang, gambar seorang anak perempuan itu semakin jelas.. dia sedang menatap jauh kedepan, sendirian walau entah mengapa dia tidak terlihat sendirian dengan arsiran yang tak dapat ku artikan secara harfiah itu.. kembali aku tertegun dengan cakakan yang ada di bawahnya, “kami Cuma berdua,.. tak apa, karena yang ku mau hanya seorang..”

Di lembar-lembar selanjutnya semakin terlihat arsiran itu semakin terang.. dan yang membuat aku kaget, aku menemukan sesuatu hal yang berbeda pada gmabar sketsa yang terlihat mirip itu, selain dari catatan-catatannya yang terkadang aku tak terlalu mengerti.. aku menemukan bahwa ank perempuan yang ada di sketsa itu tidak sendiri,..

Aku semakin terkejut ketika mendapati gambar yang ada di bagian akhir.. gambar kali ini sangat berbeda dari sebelumnya.. anak perempuan itu tidak sendiri, dia berdua, bersama dengan seorang anak perempuan lain. Mereka sedang duduk menghadap langit, dan di atas langit malam itu ada ribuan bintang dan sebuah bulan sabit yang sangat indah.. tak ada catatan di sisi gambar ini, tapi aku menemukan untaian kata tertulis indah di balik cover belakang buku sketsa ini.

Dulu aku sendiri... dalam gelap dan sunyi. Hanya ada bulan yang menemaniku..mengatasi rasa takutku akan dunia yang munngkin akan sirna esok,.. namun aku tak ingin menyerah, masih ada satu jalan lagi.. dan aku harus berusaha.
Lalu aku berdo’a, berdo’a padaNya agar dia mengabulkan permintaanku.
Aku tak minta banyak, aku hanya minta Dia memberikanku seorang bidadari,
Seorang bidadari yang selalu ada di sampingku,
Yang memberikan ruang padaku,
Yang bisa menerima semua kekuranganku,
Yang selalu ada untuk berbagi padaku..
Lalu.. dia datang, seorang bidadari yang mengubah hidupku.
Yang menjadikan duniaku lebih berwarna,
Yang menjadikan aku percaya bahwa aku tak bisa bertahan,
Yang selalu ada bersamaku...
Aku tak ingin meminta yang lain, aku hanya ingin selalu bersamanya.. bersama untuk menatap bulan dan bintang.
Bersama bidadariku selamanya, Tiara Anggia Paramitha..

Sebuah bulir air mata jatuh tanpa bisa ku tahan, alisa... dia, dia harus bisa bertahan. Operasi ini harus berhasil, dia pasti bisa melawan tumor otaknya. Alisa memang menderita tumor otak, kata mamanya dia hancur ketika pertama kali tahu tentang penyakitnya itu.. dia selalu sedih, namu ketika kemi bersama dia berubah, ada semangat yang kemudian membuat dia kuat dan akhirnya membuat dia berani untuk operasi.. Dia harus sembuh, sudah lama dia mencoba meyakinkan dirinya untuk operasi, dan sekarang ketika dia sudah berhasih mengalahkan rasa takutnya aku harap dia juga akan berhasil mengalahkan tumor itu..

Aku kembali menyusun memori dari mulai pertama kami berkenalan, sungguh dia adalah yang terbaik. Maka aku memanjatkan do’apaling tulus untuk orang yang terbaik yang pernah aku temui.

Aku masih terdiam di kursi ketika kemudian perlahan pintu ruang operasi mulai terbuka.

***

Malam ini aku sedang duduk di taman rumahku, mentap ribuan bintang dan sebuah bulan sabit yang tersenyum kepadaku. Di sampingku, seorang bidadari paling cantik dan terbaik yang pernah ada memamerkan sketsanya yang baru kepadaku. Semoga selamanya bersama, sahbat terbaik yang pernah aku miliki, Bulan Sabit di hatiku.. Alisa Dewi Sapasi

____The End____
*0.41, 13/09/2010 yuliana indriani

1 komentar:

  1. asiiiik, cerpen lagi. seperti biasa, aku nunggu cerpen selanjutnya lo kak :)))
    enak bacanya, biarpun bolak-balik tp rapih, ceritanya jg nggak ketebak. Dan yang terpenting, aku suka happy ending, kayak blog kakak, selalu ingin akhir yang bahagia.. hahahaha ;)

    BalasHapus