Minggu, 30 Januari 2011
Writing Competition
Jumat, 28 Januari 2011
Aku dan Gadis Berumur Tujuh Tahun di Arena Permainan
... Lihatlah wajah berseri itu hari ini dan lihatlah bagaimana wajah itu beberapa tahun ke depan... ...Semuanya berawal dari hari ini dan akan tergantung pada hari ini...
Angin semilir menerpa wajahku ketika aku duduk dengan manis di pinggir arena permainan yang baru saja aku buat. Di area permainan Lia, gadis kecil berumur tujuh tahun, sedang meloncat-loncat dengan riang. Lia adalah gadis kecil berumur tujuh tahun yang akhir-akhir ini selalu datang ke rumahku untuk bermain denganku.
Tiba-tiba, kaki Lia menyentuh batas arena permainan dan itu artinya Lia harus berhenti bermain dan aku akan mendapat giliran bermain. Tapi, sepertinya Lia tidak rela.
“Satu kali lagi yah,yang tadi gak sah, ya yuk, yah..” aku hanya bisa tersenyum tipis ketika Lia kembali membujukku. Matanya yg membulat dan bersinar-sinar akhirnya bisa membuat aku tak berkutik. Aku mengalah pada anak kecil berumur tujuh tahun yang mengajakku bermain itu. Aku kembali duduk diluar arena permainan dan melihat gadis kecil itu kembali melompat-lompat dengan lincah sampai ku lihat kakinya kembali melanggar batas arena permainan.
“Wah, kaki Lia menginjak garis tuh..” Lia tercenung sesaat dan akhirnya dengan sedikit berteriak dia membantahnya, “Wee, enggak tuh ayuk tuh yang salah lihat..” Aku menghelakan napas dan kemudian hanya bisa kembali tersenyum. Entah ini sudah yang keberapa kali Lia menyangkal kesalahannya, dan entah juga yang keberapa kali dia bisa dikatakan curang. Menggeserkan buah permainan, mengeserkan kaki yang tidak sengaja menginjak garis, meminta permainan diulang bila dia melakukan kesalahan, sampai dia membuat peraturan permainan sendiri, Lia benar-benar sudah banyak melakukan kecurangan.
“Ah lia kan masih anak kecil” salah satu bisikan lembut dihatiku kembali terdengar tapi bagian lain di nuraniku terasa digelitik keras.
“Anak sekecil lia saja sudah belajar curang, bagaimana nantinya? Mungkinkah dia akan tumbuh jadi seseorang yang egois dan terbiasa berbuat curang? Semuanya kan berawal dari masa kecil, apa yg dia dapat di masa kecil akan membekas dan membentuk dirinya di masa depan.”
Aku kembali terdiam, entah apa yang Lia pelajari selama ini. Bagaimana awalanya dia belajar curang? Mungkinkah orang-orang di sekitarnya yang mengajarkannya berbuat curang? Lalu bagaimana Lia nantinya? Aku kembali menatapi Lia yang masih asik melompat-lompat di arena permainan.
Tiba-tiba di mataku Lia berubah menjadi dewasa, mengenakan pakaian resmi di ruang sidang DPR. Lia sibuk berdebat, sibuk menyalahkan dan sibuk mengungkit-ungkit peraturan undang-undang yang bahkan dia tidak tahu isinya. Lia yang tersenyum penuh kemenangan ketika berhasil mengelabuhi banyak orang dengan gaya sok pintarnya, Lia yang tiba-tiba tertawa ketika menaiki mobil mewah yang entah didapat dari mana.
“Ayuk, kok diem aja? ayo main..” Aku tersadar dari lamunanku ketika Lia menarik-narik pergelangan tanganku.
“Enggak lia, ayuk gak mau main” Lia sedikit terkejut, ditatapnya aku dengan tatapan tak percaya.
“Kenapa?” dia bertanya sambil membulatkan matanya.
“Ayuk gak ngerti permainan Lia. Ayuk gak ngerti peraturan mainnya.” Aku menjawab sebiasa mungkin dan mencoba tak menyakiti hatinya. Dia terdiam sesaat, menatapku dan kemudian menatap arena permainan di mana dia sudah menang jauh dariku karena beberapa kecurangan kecil yang dia lakukan. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran anak kecil seperti Lia, tapi aku harap dia akan mengerti sesuatu dengan perkataanku itu.
Lia melangkahkan kakinya ke arena permainan dan mengambil buah permainan lalu mengembalikannya ke titik awal.
“Kita mulai baru aja permainannya..” kata Lia sambil tersenyum manis dan tatapan berbinarnya. Lia, gadis berumur tujuh tahu tersebut sepertinya mengerti bahwa aku tak nyaman dengan gaya bermainnya, mungkin perlahan dia mengerti bahwa aku tak ingin dia berbuat curang. Aku hanya bisa tersenyum lega, “Ok, tapi Lia janji yah gak curang dan buat peraturan sendiri hanya untuk menang? Kali ini kita bermain dengan jujur dan begitu pula untuk permainan-permainan lainnya, janji?”
“Iya, janji..” Lia berteriak senang dan mantap.
Hm, aku mempersilahkan Lia mengambil giliran pertama karena dia menang dalam usit untuk memulai permaianan. Aku melakukan semua ini bukan agar aku menang dari Lia, hanya saja aku ingin Lia belajar untuk tidak bermain curang lagi.. meski hanya di arena permainan, dia tak boleh belajar curang. Karena, apa jadinya Lia di masa depan adalah buah dari apa yang diajarkan padanya sekarang. Dan aku bertanggung jawab untuk saat sekarang, di sini.. di arena permaianan ini. Semoga dia belajar sesuatu dari permaianan ini, dan membawanya tumbuh bersamanya hingga dia dewasa dan menjadi Lia yang lebih baik kelak.
“Seandainya ketika besar Lia benar menjadi anggota DPR, aku harap dia bisa menjadi anggota Dewan yang jujur, yang memihak kepada rakyat, yang menegakkan Undang-Undang, dan anti kecurangan dan korupsi... Amin..” aku tersenyum ketika Lia menghentikan permainannya ketika gilirannya berakhir kali ini.
****__****
# Ayuk : Panggilan untuk kakak perempuan.
# Usit : permaianan untuk menentukan menang atau kalah dengan mengadu jari tangan.
***__***
HIKMAH :
Cerita ini sebenarnya diambil dari kisah nyata sehari-hari, betapa banyak kita lihat anak kecil belajar bermain curang dalam permaianan sederhana. Hal ini bisa membuat anak kecil itu terbiasa berbuat curang, dari mulai melakukan kebohongan kecil tentang uang jajan dan akan meluas hingga berbuat curang dalam ujian di sekolah.
Saya tidak ingin mecoba menyalahkan siapa-siapa lewat cerita ini, hanya saja saya ingin memberikan gagasan bahwa kadang yang perlu kita lakukan adalah merubahnya dengan usaha kita sebagai orang terdekat anak kecil tersebut agar kita dapat mengajarkan dan memberikan contoh yang baik pada generasi yang akan datang.
Karena bagaimana generasi penerus bangsa ini, sebenarnya ditentukan bagaimana dia diajari dan diberikan contoh sejak masih kecil. Jadi, mari kita mengajarkan dan memberikan contoh yang baik demi masa depan bersama yang lebih baik.
hikmah yang saya coba sampaikan di cerita ini :
1. kejujuran harus di tanamkan sejak kecil (jangan membiarkan dan membiasakan anak kecil berbuat curang )
2. kita harus mengajarkan dan memberi contoh yang baik kepada anak kecil
3. masa depan bergantung pada bagaimana masa kecil, jadi,.. pentingnya pendidikan dan pembentukan sikap sejak dini agar menjadikan pribadi yang baik di masa yang akan datang.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp.
Selasa, 25 Januari 2011
Dongeng...
Jumat, 21 Januari 2011
my first drama.. :)
Hm, ini proyek asal banget.. baru coba-coba dan tanpa ilmu, maaf kalau salah.
Yeay, naskah drama! Pertamanya ku kira mesti buat skenario, sumpah ribet amat.. tapi karena katanya kayak buat pementasan gitu berarti naskah drama dong.. yah sudahlah apapun itu, hanya ini yang bisa aku tulis. So, check this out.
Putus Sekolah? (drama 20 menit)
Sinopsis
Di sebuah pinggiran kota hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak laki-laki yang baru saja putus sekolah karena kekurangan biaya. Dika memutuskan untuk berhenti sekolah agar bisa membantu orang tuanya, namun.. cita-citanya untuk menjadi insinyur tidak mati begitu saja, hanya saja mungkin dia perlu menundanya. Sahabat-sahabat dika datang untuk kembali mengingatkan dika bahwa apapun masalahnya pasti akan ada jalan keluarnya dan mereka ingin dika tidak menyerah pada keadaan hingga akhirnya jalan keluar itu terlihat dengan sangat jelas.
Tokoh
Andika : siswa SMA kelas X yang terpaksa putus sekolah, anak tertua dari lima bersaudara, pintar, bersemangat, tidak mudah putus asa, baik hati, penyayang dan bertanggung jawab.
Didit : sahabat Dika, teman sebangku dika dari SD hingga ketika dika memutuskan putus sekolah, perhatian, setia kawan.
Afifah : sahabat Dika sekaligus tetangga dika, perhatian, lemah lembut.
Evan : adik dika, baru SMP, pintar, pendiam, perhatian.
Orang tua dika : ayah yang tegas, sedikit berbicara dan ibu yang pasrah.
Adengan 1 (Durasi 5 menit) lokasi : rumah dika
Narator : Suatu malam, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Suasana rumah berubah menjadi tegang seketika, ibu yang sedang menidurkan putri bungsunya menatap tak percaya kepada putra tertuanya. Ayah yang baru saja pulang dari tempat bekerja sampai-sampai harus berdiri terpaku di pinggir pintu ketika putra tertuanya dengan sangat jelas memutuskan hal yang sangat berat.
Andika : (sambil menatap ibu dengan mantap) “Dika akan berhenti sekolah saja Bu.”
Ibu : (menatap andika dengan tatapan terkejut)
Ayah : (berdiri terpaku di pinggir pintu dengan wajah letih dan lusuh)
Andika : “Dika sudah putuskan, lebih baik dika berhenti sekolah saja dan bekerja membantu ayah dan ibu. Jadi, ibu dan ayah cukup mempersiapkan biaya untuk Evan melanjutkan ke SMP saja. Evan itu pintar bu, jadi sangat sayang kalau dia yang harus putus sekolah.”
Ibu : (menangis sambil merutuki dirinya sendiri, menatap evan yang sudah tidur bersama adik-adiknya yang lain)
Ayah : (masuk, menepuk bahu Dika dan berdehem) “kalau kamu kira itu yang terbaik maka lakukan, tapi jangan pernah kamu menyerah begitu saja pada keadaan. Ayah hanya minta kamu memikirkan keputusan kamu kembali. Dan.. soal biaya, maafkan ayah. Tapi, ingatlah bahwa Rezeki itu dari Allah. (tersenyum ke arah dika, masuk ke kamar)
Andika : (menunduk, dan akhirnya mengangguk mantap)
Evan : (posisi tidur menyamping, air matanya mengalir)
Adegan 2 ( durasi 5 menit) lokasi : ruang kelas
Narator : kelas X.1 geger, berita tentang Andika yang akan berhenti sekolah mulai tersebar. Seorang anak biasa-biasa saja yang berhasil masuk Sekolah Unggulan karena prestasinya itu tiba-tiba memutuskan akan berhenti sekolah! Ini benar-benar berita! Bagaimana mungkin dia membuang kesempatan emas untuk maju?
Ruang kelas masih sepi, hanya ada beberapa anak-anak yang baru tiba di sekolah dan asik dengan kegiatannya masing-masing.
Didit : (berlari-lari memasuki kelas) ifa! Afifah! (dengan napas terengah-engah memanggil afifah yang sedang duduk membaca buku di bangkunya.)
Afifah : ada apa dit?
Didit : Dika beneran berhenti?
Afifah : (dengan tatapan menyesal mengangguk)
Didit : (menghelakan napasnya) Anak itu! Tidak bisakah dia berasabar lebih lama sedikit saja! ah, pokoknya ntar kita harus ke rumah dika! (berbicara dengan penuh emosi)
Afifah : (menatap didit dengan tatapan tidak mengerti) ngapain?
Didit : mau nyeret anak itu balik ke sekolah!
Afifah : (mengangguk ragu-ragu)
Adegan 3 (durasi 3 menit) lokasi : pinggir jalan
Narator : Andika benar-benar sudah memilih untuk berhenti sekolah, dia.. demi berkorban untuk adiknya akhirnya mengalah. Dia memulai hari-hari pertamanya berhenti sekolah dengan bekerja sebagai loper koran, mencoba menjadi penjual asongan, hingga sempat pula dia mencoba mengamen bersama teman-teman yang juga senasib dengannya. Namun, ketika peluh semakin banyak mengalir dia semakin ingat bagaimana cita-citanya akan berhenti begitu saja di sini.
Andika : (menunduk, berbicara pada diri sendiri) yah.. calon insinyur yang akhirnya jadi pengamen. Ah.. tak apalah, aku tak boleh egois dan aku tetap harus bersyukur. Aku mungkin tak bisa mengejar cita-citaku menjadi insinyur sekarang, tapi bukan berarti aku akan menyerah! Ayah benar, rejeki itu dari Allah, kalau memang aku ditakdirkan jadi Insinyur maka aku tetap akan jadi insinyur nantinya.
Evan : (menatap Andika dari kejauhan, berkata pada diri sendiri) “kakak tidak perlu seperti ini. Pasti ada jalan lain.. pasti ada!”
Adengan 4 (durasi 7 menit) lokasi : pinggir jalan
Narator : ketika peluh sudah membanjir, ketika rupiah demi rupiah telah berhasil dikumpulkan, Andika memilih pulang untuk beristirahat di rumahnya. Tak sabar rasanya dia melihat ibu dan adik-adiknya, melihat mereka tersenyum menyambutnya pulang.. ini akan terasa berbeda, karena kali ini dia tak hanya pulang.. tapi kali ini dia bisa membawa sedikit uang yang akan mengangkat sedikit beban dari pundak ibunya, sedikit uang untuk menganjal perut adik-adiknya dengan makanan ringan sambil menunggu Ayah pulang.
Andika : (berjalan dengan senyum sambil memegang beberapa lembar uang, menatap lurus lalu terkejut ) “Didit? Afifah?”
Didit : (menepuk pundak dika) apa kabar dik?
Andika : (tersenyum) ada apa kalian ke sini?
Afifah : didit tuh, katanya mau nyeret kamu balik ke sekolah.
Andika : (ganti menatap didit)
Didit : iya, seenaknya aja kamu berhenti sekolah! Mau dikemanain cita-cita kamu?
Andika : (menunduk)
Didit : (menepuk bahu dika) dik, masalah gak akan selesai dengan masalah. Kamu kira berhenti sekolah itu bukan masalah? Hey! Kamu malah membuat masalah baru dengan keputusanmu itu! Kamu menyebabkan masalah untuk masa depanmu!
Afifah : (menatap andika iba) didit benar dik, kamu gak boleh berhenti sekolah.
Andika : tapi...
Didit : kamu ingat, kamu pernah bilang kepadaku bahwa keterbatasan tidak membatasi, jadi sekaranglah waktu kamu membuktikannya. Kalau kamu merasa sekarang tidak bisa menyelesaikan masalah kamu, maka jangan kabur.. mari kita hadapi bersama, lagi pula ada aku dan ifa..
Andika : (menghelakan napas) aku gak mau merepotkan orang lain. ini masalahku, jadi biarkan aku menyelesaikannya sendiri, dengan caraku sendiri. Maaf.
Mereka terdiam sesaat.. tak ada yang berani bicara lagi.
Evan : (berlari menuju dika dkk sambil memegang sebuah amplop) Kakak! Kakak!
Andika : Kenapa van? (dengan nada sedikit khawatir)
Evan : (memberikan Amplop itu pada kakaknya sambil tersenyum)
Andika : (membuka Ampop itu, membaca surat yang ada di amplop itu) Alhamdulillah... Alhamdulillah ya Allah... (bersujud syukur lalu memeluk Evan)
Narator : ternyata Evan mendapatkan Beasiswa dari sebuah sekolah Unggulan, sehingga Andika dan keluarga tidak perlu mengkhawatirkan masalah biaya untuk sekolah Evan lagi. Andika pun akhirnya kembali ke sekolah. Andika, Didit dan Afifah kembali bersama saling menguatkan dan bergandengan tangan untuk mengejar cita-citanya masing-masing.
___selesai___
Aduh, maaf yah aku benar-benar gak biasa buat naskah drama gini. Lagi pula ini benar-benar dadakan, dan durasinya dibatasi 20 menit.. maaf yah.
Kalau ada yang bisa ngasih masukan, tolong di komentarin. Thanks
*naskah drama ini buat kiki yang SMS kemaren, maaf yah dek jadinya segitu. Kalau jelek gak usah di pakai yah. Dan soal pemainnya yang min 15, aku bingung juga.. ini Cuma bisa 6 mungkin yang lain bisa jadi narator dan jadi figuran di ceritanya (misal, jadi temen2 di sekolah, atau jadi orang-ornag di pinggir jalan --__--“). Maaf yah kalau mengecewakan. Sukses yah buat acaranya!.
Selasa, 18 Januari 2011
The Place to Keep
sebelum mimpi
sebelum mimpi..
aku kembali membaringkan tubuhku, mencoba kembali membuat diriku nyaman. tapi tak bisa..
ini terjadi tiap malam sekarang, ah entah mengapa.. tapi perasaan ini selalu menghampiri.
perasaan tentang betapa dangkalnya ilmu, betapa kecilnya diri, betapa jauhnya dari mimpi.
ini menyiksa, bayangkan saja ketika setiap malam kau mengalami hal ini. mengetahui bahwa ilmumu masih teramat dangkal untuk diamalkan, mengetahui bahwa dirimu teramat kecil untuk berbuat besar, dam mengetahui bahwa mimpimu terlalu jauh untuk digapai..
mungkin aku pesimis atau mungkin aku hanya realistis.
tapi aku hanya tak mau berpuas diri,
aku masih terlampau jauh dari bayanganku.. dan aku khawatir tak bisa menangkapnya.
tapi aku tak boleh menyerah.. tak akan menyerah.
aku memejamkan mataku, seperti malam-malam sebelumnya, mulai berdo'a dan mulai berbisik pada hatiku..
aku menerima diriku apa adanya, dan aku tak keberatan dengan segala kekuranganku.. karna hanya dengan semua hal yang aku miliki inilah aku adalah aku..
hari ini, esok dan seterusnya.. biarkan rasa itu tetap ada, agar aku ingat bahwa aku adalah aku.. yang dangkal ilmunya, yang kecil dirinya dan yang jauh mimpinya.. juga aku yang tak akan menyerah atas semua kekurangan itu..
lalu aku mulai berjalan ringan menuju mimpiku,.
Minggu, 16 Januari 2011
Yang Pertama Bukan Yang Terakhir..
Jumat, 14 Januari 2011
Keterbatasan Tidak Membatasi..
Aku Anak Emas Ibuku.. (sebuah gagasan yang membekas meski belum selesai dibaca))
Kamis, 13 Januari 2011
Penonton VS Pemain
hm, ini order dari my big bro, walau ilmu untuk nulisnya cetek banget tapi harus tetep dilanjutkan, namanya juga belajar :)
check this out... kalau ada yang salah atau ingin ditambahkan silakeun dibenerin ^_^
penonton vs pemain
Masih inget pertandingan AFF beberapa waktu lalu? Masih inget insiden laser yang dilakukan oleh penonton Malaysia? eits, kita bukan mau ngebahas AFF dan laser-nya penonton malaysia, yang pasti pemain kita sudah melakukan yang terbaik yang mereka bisa, hidup indonenesia!
Bicara soal penonton, kita sendiri sebenarnya sudah sangat sering menjadi penonton, mulai dari jadi penonton sepak bola, penonton acara musik, penonton film, sampe penonton acara dangdutan *hayo ngaku!!
kalau ditanya apa itu artinya penonton pasti bisa jawab kan?
Penonton itu kalau menurut saya berarti orang yang menikmati, mengawasi, dan terlibat secara pasif dari suatu kegiatan. Tapi, bukan berarti penonton itu tidak penting,coba bayangkan permainan sepak bola tanpa penonton, acara musik tanpa penonton, film tanpa penonton, dan acara dangdut tanpa penonton? -_-"
Penonton bisa jadi penonton yang baik dan yang buruk, yang sportif dan yang curang. Penonton yang baik adalah penonton yang menikmati, mengawasi dan terlibat pasif dalam kegiatan serta memberikan feedback yang baik dan sportif juga. Misal, penonton sepak bola yang baik itu yang tidak menganggu pertandingan, yang tidak membenci pemain karena kalah, yang tidak hanya bisa ngedumel sendirian atau marah-marah gak jelas. Penonton yang baik justru akan menikmati pertandingan dengan tertib, tetap mendukung pemainnya, dan juga memberikan saran, dukungan dan tanggapan positif agar kelak pemain dapat bermain lebih baik dan penonton akan lebih menikmati pertandingan.
Lalu, coba misalkan hal tersebut pada diri sendiri dan di kehidupan sendiri, sudahkah kita menjadi penonton yang baik? dimanapun kita berada dan dalam kegiatan apapun yang kita ikuti.. Apakah kita cenderung hanya suka menonton tanpa menjadi penonton yang baik?
Sekarang kita beralih ke pemain..
Inget C. Gonzales? inget Irfan Bachdim? inget Arif Suyono? Nasuha? Markus?
Itu pemain timnas.. hehe
Pemain adalah orang yang berperan aktif dalam suatu kegiatan. berperan aktif di sini berarti adalah orang yang terlibat langsung, menikmati sekaligus menentukan semua yang terjadi dengan usahanya. :)
Kalau penonton ada yang baik dan ada yang buruk, pemain juga begitu. ada yang baik dan buruk serta ada yang curang dan ada yang sportif.
Karena dari awal sudah pake permisalan sepak bola, jadi kita bayangkan dirikita sebagai pemain sepak bola. Ketika kita menjalani pertandingan, apakah kita sudah berbuat semaksimal mungkin? sudahkah kita memanfaatkan peluang-peluang yang datang kepada kita?, sudahkah kita bermain sportif tanpa melakukan pelanggaran? lalu apakah kita sudah menerima dengan lapang dada bagaimana hasil pertandingan kita? dan yang tak kalah penting, bagaimana sikap kita terhadap penonton, sudahkah kita menerima masukan yang diberikan dan memaafkan semua hal jelek yang dilakukan penonton?
Hm, sekali lagi mari kita misalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam kehidupan kita sendiri, sudahkah kita menjadi pemain yang baik?
Selesai soal renungannya soal baik dan buruk, sekarang waktunya pertanyaan
"kalau di suruh milih antara jadi penonton atau jadi pemain, kita pilih yang mana?"
Jawabannya bisa jadi penonton.. atau bisa juga jadi pemain..
Kita memilih jadi penonton saja ketika kita merasa tidak bisa terlibat langsung sebagai pemain, dan kita memilih menjadi pemain ketika kita yakin bahwa kitabisa! ingat sekarang penekannya pada kata bisa.
Coba kita lihat pada kehidupan kita, di sini kita berperan sebagai pemain atau penonton? jelas saja kita berperan sebagai pemain. Bagaimana mungkin kita hanya mau menjadi penonton? kita menonton hidup kita berjalan tanpa melakukan apapun, kita hanya mengawasi dan menikmatinya.. mau jadi apa kita?
Lalu coba kita renungkan pada kegiatan kita sehari-hari, pada aktivitas kita, pada pikiran dan kemauan kita... apa kita sudah cukup kriteria untuk dikatakan sebagai pemain? saya cuma ingin mengingatkan pada paragraf sebelumnya tentang mengapa kita memilih sebagai pemain, itu karena kita merasa kalau kita bisa. Jadi kuncinya hanya pada diri kita, apakah kita merasa bisa atau tidak, kita yakin pada diri kita atau tidak?
Jadi dalam kehidupan kita, dalam kegiatan kita, dalam mimpi kita... sebaiknya kita harus menumbuhkan rasa percaya diri dan yakin bahwa kita bisa dan mampu menjadi pemain! kita harus terlibat aktif dan tidak hanya berperan pasif sebagai penonton. Karena semuanya ada di tangan kita, usaha kita.
Kita tidak bisa menjadi penonton selamanya, karena penonton pun jika dia mau belajar dan berusaha untuk bisa kelak dia akan menjadi pemain. *Irfan Bachdim dulu juga cuma anak kecil yang sering menonton ayahnya bermain bola sebagai pemain bola di persema tapi sekarang ternyata irfan juga bisa menjadi pemain bola yang baik di persema. :)
"..kalau mau pintar belajar, kalau mau berhasil usaha.." - tuk bayang tulah (LASKAR PELANGI)-
Jadi setujukah bahwa mulai sekarang kita akan belajar bersama untuk menjadi pemain yang baik? Menjadi pemain yang menentukan kemenangan yang akan kita genggam bersama?! Semangat! KITA yakin KITA BISA!!
*Bila masih belum yakin bisa dan ingin menjadi penonton.. jadilah penonton yang baik. tapi, tetap ingatlah bila kita mau dan yakin bisa setiap penonton pasti bisa menjadi pemain!!
(Yuliana Indriani)