tubuhku terpaku didepan seorang wanita yang terbaring tak berdaya bersimba darah di samping sebuah sepeda motor yang sudah tak berbentuk, tubuhku kemudian bergetar hebat dan air mata mengalir deras di kedua pipiku,.
--
aku menangis sendirian, berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan ditengah hujan deras...
aku terus menangis dan berteriak meski nyatanya tak ada tanda-tanda sama sekali akan ada yang mendengarkanku tapi aku tak peduli.. harus ada seseorang yang menolong kami, harus ada! karena aku tak mau kehilangan kakakku.
'siapapun tolong selamatkan kakakku!'
aku kembali berteriak sambil menangis memeluk kakakku yang terbaring lemah dengan bersimba darah.. aku tak mau kehilangan kakakku! tak pernah mau!..
--
'siapa pun tolong selamatkan wanita ini!' tanpa sadar aku berteriak sekeras-kerasnya membuat kerumunan orang yang sibuk sendiri itu terdiam sesaat.
'paman, tolong telepon rumah sakit dan minta ambulan secepatnya..' aku menunjuk seorang paman yang berada paling dekat denganku. namun paman itu tetap terdiam, aku sempat kesal dengan sikapnya tapi mungkin dia masih terkejut.
'yah paman.. mohon bantuannya.' paman itu akhirnya mengerti dan segera mengambil handphone yang terletak di pinggangnya dan segera menghubungi rumah sakit.
aku menahan napasku sejenak, mencoba menenangkan diri, satu menit saja.. aku butuh satu menit saja untuk meyakinkan diriku.
aku kembali mendekatkan diri kearah wanita yang malang ini, dia tetap tak berdaya, ku raba denyut nadinya dan ku pastikan napasnya.
dia.. dia sudah tidak bernapas.
tidak mungkin! tadi ku lihat dia masih setengah sadar dan juga nadinya masih berdenyut meski lemah.
mungkinkah aku terlambat satu menit?
ku coba melakukan bantuan pernapasan, mencoba melakukan pertolongan pertama pada wanita ini.
'hai! apa yang kau lakukan? apa kau dokter?' salah seorang dari kerumunan itu bertanya padaku, tapi aku tak menghiraukannya aku tak punya waktu untuk menjelaskan apapun..
--
'apa kau dokter?' aku bertanya pada seseorang yang sekarang berusaha menolong kakakku, entah bagaimana dia adalah satu-satunya orang yang mendengar teriakanku dan akhirnya bersedia membantu.
'kau punya pisau dan pipet atau pena?' dia malah bertanya kepadaku.
--
'aku hanya berusaha menyelamatkanya.. maka tolong percaya padaku. tolong berikan pisau dan pipet!'
--
'tapi... apa kau yakin?' aku mencoba meyakinkan bahwa dia tidak akan salah bertindak. dia menatapku, 'percayalah, aku hanya ingin menyelamatkannya'
--
dengan hati-hati aku membuat sebuah sayatan kecil di lehernya setelah sebelumnya memastikan bahwa itu adalah tempat yang tepat, lalu dengan hati-hati ku masukan pipet itu ke sayatan yang ada di leher itu lalu perlahan ku alirkan pernapasan bantuan dari pipet itu.. 'dia harus bernapas, dia harus mendapatkan oksigen dan aku tak boleh terlambat satu menit pun'.. aku berdo'a dalam hati agar semua yang aku lakukan ini bisa menyelamatkan wanita ini.
beberapa saat, akhirnya bisa ku rasakan dia mulai bernapas.. yah dia bernapas.. dia selamat.
--
'kau menyelamatkan kakak ku.' aku duduk di samping seseorang yang ku anggap pahlawan. dia menatapku sekilas lalu tersenyum.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, tapi semuanya adalah kuasa Allah.' dia kemudian berdiri, dan mulai beranjak.
'terima kasih sudah melakukan yang terbaik..!' aku setengah berteriak berterima kasih kepadanya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali tersenyum. 'terimakasih sudah mempercayaiku.'
--
'terima kasih sudah menyelamatkan ku.' wanita itu tersenyum ketika aku menjenguknya sore itu.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.' aku mencoba tersenyum padanya.
'hm.. yah, terima kasih sudah melakukan yang terbaik, andai kau terlambat menolongku satu menit saja maka aku tidak akan ada di sini.' dia menatapku tulus, ah dia benar-benar mengingatkanku pada seseorang, pada diriku.
'semuanya karena kuasa Allah.. dia yang telah mengatur semuanya.'
'tapi bolehkah aku bertanya bagaimana kau bisa yakin untuk menyelamatkanku dan yakin untuk melakukan pertolongan seperti itu.. apa kau dokter?'
--
'tapi apa yang membuatmu yakin untuk melakukan hal itu pada kakakku?' aku mencoba menahannya dengan pertanyaanku.
dia mengalihkan pandangannya padaku, 'aku tak boleh terlambat satu menitpun untuk menolong kakakmu bernapas... ah kau terlalu kecil untuk mengerti, maka bila kau ingin mengerti belajarlah menjadi dokter dan lakukanlah yang terbaik untuk membantu orang-orang.. dan aku pun sedang belajar.' dia mengusap kepalaku dan akhirnya benar-benar pergi.
--
'apa kau dokter?'.. dia mengulangi pertanyaanya padaku, aku tersenyum kepada wanita itu, 'aku sedang belajar.. dan aku rasa aku harus siap suatu saat nanti..'
'... yah aku harus siap, tanpa perlu menangis tanpa harus menunda satu menit pun aku harus siap melakukan yang terbaik...'
--
dengan hati-hati aku membuat sebuah sayatan kecil di lehernya setelah sebelumnya memastikan bahwa itu adalah tempat yang tepat, lalu dengan hati-hati ku masukan pipet itu ke sayatan yang ada di leher itu lalu perlahan ku alirkan pernapasan bantuan dari pipet itu.. 'dia harus bernapas, dia harus mendapatkan oksigen dan aku tak boleh terlambat satu menit pun'.. aku berdo'a dalam hati agar semua yang aku lakukan ini bisa menyelamatkan wanita ini.
beberapa saat, akhirnya bisa ku rasakan dia mulai bernapas.. yah dia bernapas.. dia selamat.
--
'kau menyelamatkan kakak ku.' aku duduk di samping seseorang yang ku anggap pahlawan. dia menatapku sekilas lalu tersenyum.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, tapi semuanya adalah kuasa Allah.' dia kemudian berdiri, dan mulai beranjak.
'terima kasih sudah melakukan yang terbaik..!' aku setengah berteriak berterima kasih kepadanya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali tersenyum. 'terimakasih sudah mempercayaiku.'
--
'terima kasih sudah menyelamatkan ku.' wanita itu tersenyum ketika aku menjenguknya sore itu.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.' aku mencoba tersenyum padanya.
'hm.. yah, terima kasih sudah melakukan yang terbaik, andai kau terlambat menolongku satu menit saja maka aku tidak akan ada di sini.' dia menatapku tulus, ah dia benar-benar mengingatkanku pada seseorang, pada diriku.
'semuanya karena kuasa Allah.. dia yang telah mengatur semuanya.'
'tapi bolehkah aku bertanya bagaimana kau bisa yakin untuk menyelamatkanku dan yakin untuk melakukan pertolongan seperti itu.. apa kau dokter?'
--
'tapi apa yang membuatmu yakin untuk melakukan hal itu pada kakakku?' aku mencoba menahannya dengan pertanyaanku.
dia mengalihkan pandangannya padaku, 'aku tak boleh terlambat satu menitpun untuk menolong kakakmu bernapas... ah kau terlalu kecil untuk mengerti, maka bila kau ingin mengerti belajarlah menjadi dokter dan lakukanlah yang terbaik untuk membantu orang-orang.. dan aku pun sedang belajar.' dia mengusap kepalaku dan akhirnya benar-benar pergi.
--
'apa kau dokter?'.. dia mengulangi pertanyaanya padaku, aku tersenyum kepada wanita itu, 'aku sedang belajar.. dan aku rasa aku harus siap suatu saat nanti..'
'... yah aku harus siap, tanpa perlu menangis tanpa harus menunda satu menit pun aku harus siap melakukan yang terbaik...'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar