Angin terasa lembut melewati wajahku dari sebuah celah jendela mobil, aku masih diam menatap lurus ke depan tanpa peduli dengan apa apapun, tidak pada desiran angin, tidak pada kebisingan kendaraan lain, tidak pada udara yang menyesakkan. Aku hanya diam, menikmati waktu dan perjalanan tak berarah ini. Ah tidak, ini bukan tak berarah... ini hanya menyusuri kembali jalan yang surah lama aku tinggalkan.
***
“Pergilah...” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya. Terdengar begitu pasrah dan begitu berat. Ah, mengapa ini begitu sulit. Mengapa kamu tak mau mengerti.
“Tapi...”
“Kalau kamu memang mau pergi, maka pergilah.. tapi jangan coba mengingatku kembali, jangan coba mencariku lagi, karna itu akan sangat menyakitkan. Maka, pilihlah jalanmu.. karna sekarang aku tak akan memaksamu untuk terus bersamaku.”
Aku terdiam, bagaimana mungkin dia berkata seperti itu. Hei, aku hanya pergi untuk sementara.. dan mungkin aku akan kembali untuk bersama, lalu apa kau tak akan menerimaku lagi kelak? Apa kau tak ingin bersama lagi nanti?
“Lalu...janji kita? Apa harus dibuang begitu saja?”
“Bila kau pergi maka tak ada lagi janji itu, pilihlah sesuka hatimu..”
Sekarang aku tak bisa berkata apapun, ah ini benar-benar sulit. Mengapa kamu begitu melankolis, mengapa kamu begitu korelis. Ini seperti kamu memaksaku, tapi dengan cara yang begitu lembut dan tak mengenakkan khas melankolis. Lalu aku harus bagaimana? Merelakan mimpiku? Mimpi yang sekarang hanya tinggal satu langkah lagi untuk digapai? Ah... mengapa kali ini kamu tak ada untuk mendukungku dan malah berada di sisi yang bersebrangangan denganku.
Kamu berdiri, dan mulai pergi meninggalkan aku yang hanya bisa terdiam menatap punggungmu. Ah, apa benar harus berakhir seperti ini?
***
“Aku pergi...” aku menatap matamu penuh penyesalan ketika akhirnya aku memilih untuk pergi. kamu hanya diam, tanpa kata dan tanpa ekspresi... mungkinkah kamu sudah tahu pilihanku? Atau mungkinkah kamu sudah mulai mengerti?
“Maafkan aku. Tapi... aku janji aku akan segera kembali.” Aku berjanji dengan semua tekat dalam hatiku, aku benar-benar tidak ingin meninggalkanmu... tapi mengertilah, ini mimpiku dan aku rasa jika aku berhasil mewujudkannya kamu pun akan senang, bukankah kamu lah yang pernah berkata bahwa kebahagian salah satu dari kita adalah kebahagian kita berdua?.
Tak ada jawaban, hanya semilir angin yang kemudian melewati kita. Yah, hanya angin yang kemudian membawa aku pergi dan kemudian meninggalkanmu sendiri. Tapi ku mohon mengertilah dan tetaplah menungguku, karna aku berjanji bahwa ini bukan untuk selamanya.. aku akan kembali, untuk janji kita.
***
Ini adalah hari ulang tahunmu, maka dengan uang tabunganku yang tak begitu banyak aku coba untuk membelikanmu sesuatu. Yah, meski hanya sebuah kalung berbentuk setengah hati, aku harap kamu bisa menerimanya dan mengerti kalau kamu adalah setengah hatiku yang tidak akan pernah bisa aku tinggalkan, meski berpisah tapi tak berarti aku meninggalkanmu.. aku selalu ada untukmu dan untuk kita.
“Selamat ulang tahun Rasha..”
Aku sengaja tak menuliskan banyak hal dalam kartu ucapan itu, aku tahu kamu bisa mengerti kata-kataku meski tak ku katakan, aku rasa kamu bisa mendengarkanku meski aku tak bicara, dan aku rasa kamu bisa merasakan kehangatan meski aku tak bersamamu.
Aku ingin sekali melihat senyummu hari ini, hari dimana kamu bertambah dewasa dan mungkin sudah bisa memaafkanku. Tapi maafkan aku ketika ini ternyata lebih sulit dari yang aku bayangkan untuk menyelesaikan semuanya dengan cepat, kamu tahu kan ini butuh perjuangan untuk menggapai semuanya? Ku harap di sana kamu tetap bahagia meski kita tak bersama, tetap ceria seperti Rasha yang ku kenal.
***
Ah.. ini ternyata sangat sulit menyelesaikan semuanya, semua ini rasanya sudah ingin membunuhku. Aku lelah dengan semuanya, tanpa kamu disini ini terasa berjuta kali lebih sulit. Belajar di pagi hari lalu bekerja di malam hari, ah rasanya ini benar-benar akan membunuhku.
Aku membayangkan seandainya kamu ada di sini, tersenyum padaku..yah begitu saja, mungkin semuanya akan terasa lebih baik. Aku mengambil jaketku, keluar dari kost dan kemudian menuju telpon umum.. aku ingin mendengar suaramu, aku sudah tak tahan lagi. Maka ku mohon angkat telponku.
“hallo... rasha?”
Meski telpon sudah kamu terima tapi mengapa kamu tak menjawabku? Apa kamu masih marah padaku. Ayolah ras, ini sudah hampir empat tahun kamu tak bertemu denganku.. tapi kenapa kau bersikap seperti ini, tak membalas semua suratku dan tak mau berbicara denganku di telpon.
“Ras, maaf... ku mohon maafkan aku. Do’akan agar aku bisa cepat kembali untuk menemuimu.. ras, aku kangen kamu..”
Ah rasanya percuma aku terus berbicara padamu jika kamu hanya tetap diam, tapi aku tak menyerah. Meski kamu diam, aku yakin kamu mendengarkan kata-kataku.
“Ras, jaga kesehatan yah.. jangan juga terlalu memaksakan diri untuk melakukan banyak hal, jangan lupa untuk menjaga pola makanmu nanti maagmu bisa kumat kapanpun. Jaga diri yah Ras...”
Aku menutup telpon itu, ah lagi-lagi tetap tak ada satu kata pun. Kalau begitu aku harus lebih semangat agar aku bisa cepat kembali dan menemuimu.. aku akan menemuimu dan lalu mengacak-acak rambutmu nanti dan kamu tak akan bisa hanya diam seperti ini. Ah, rasanya membayangkannya saja aku sudah sangat senang. Yah, kalau begitu aku akan segera menyelesaikannya. Aku akan segera lulus.. yah menggapai impianku dan aku akan membuat keadaan menjadi lebih baik lagi.
***
Air mataku mengalir begitu saja ketika akhirnya aku dinyatakan lulus, aku bersujud syukur atas semua anugerah ini akhirnya aku bisa menggapai mimpiku. tapi ini belum selesai, harus menunggu beberapa waktu lagi, melangkah setengah langkah lagi untuk menyempurnakannya. yah, lalu aku akan pulang sebagi seseorang yang baru.. seseorang yang berbeda, seseorang yang telah menggapai mimpinya, semoga kamu bisa mengerti. Sebentar saja, sebentar lagi saja.. maka aku akan kembali.
***
Hm, akhirnya aku selesai mengurus mutasiku. Akhirnya aku bisa kembali... ras, akhirnya setelah sekian lama, setelah bertahun-tahun yang menyiksa tanpa bersamamu, akhirnya aku bisa pulang, menemuimu dan kali ini bisa bersamamu untuk selamanya, seperti janji kita.
“Sampai jumpa dok.” Aku mengangguk dan menjabat tangan dokter Ronny yang menjadi atasanku. Dengan senyum yang melekat di wajahku akhirnya aku keluar dari ruangan dokter Ronny dan akhirnya melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit ini, lalu perlahan tapi pasti aku meninggalkan halaman rumah sakit dan melaju meninggalkan kota ini.
“Ras, tunggulah.. aku kembali...maaf membuatmu menunggu sangat lama, maaf.”
***
Roda – roda mobil berputar semakin cepat dan deru mesin terdenagr lebih keras, aku baru saja menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Yah, aku sudah tak sabar untuk kembali ke sana, kembali ke rumah. Rasanya bersama angin aku ingin terbang saja langsung menuju rumah, menujumu.
Setalah berkilo- kilometer yang berhasil aku lalui, akhirnya gapura putih itu tampak juga di depan pelupuk mataku. Ah akhirnya aku kembali bisa membaca ucapan “Selamat Datang” di gapura itu lagi, yah, selamat datang untukku, selamat datang kembali ke rumah. Aku tersenyum sendiri, kali ini sedikit lebih lebar, yah.. akhirnya.
Aku perlahan menginjak pedal rem ketika aku sudah melihat pagar putih yang sangat aku kenal, ah belum berubah.. sama sekali belum berubah. Aku membuka pintu mobil dan sedikit merapikan pakaian dan rambutku, aku harus terlihat sempurna di hadapanmu.. dengan perlahan akhirnya aku memasuki halaman itu dan sekarang aku berharap kau akan menyambutku dengan gembira. Seseorang akhirnya berdiri di depan pintu menyambutku.
***
Aku berdiri beberapa detik di hadapan seseorang itu, seseorang yang sudah sangat lama tidak aku temui lalu kemudian dengan segala hormat dan rasa sayang yang memuncak aku mengecup tangan kurusnya yang sekarang sudah bertambah tua. Ah ibu... bagaimana bisa waktu begitu cepat mengubahmu.
“Akhirnya Fif, akhirnya kamu pulang...” kata ibu dengan kedua pipi yang basah. Aku lalau memeluk ibu dengan semua rasa rindu yang semakin menyiksa, ah aku benar-benar merindukan kehangatan ini.
“Iya bu, akhirnya Afif bisa meraih mimpi afif bu..” ibu menepuk pundak sambil menatapku bangga. Aku lalu masuk bersama ibu, beberapa anak-anak di halaman dan di dalam rumah terlihat menatap ke arahku, aku hanya tersenyum tulus. Di sinilah dulu aku tumbuh besar bersama rasha, yah sejak masih kecil seperti mereka.
“Bu, dimana rasha...” akhirnya aku bertanya karena mataku tak menemukan sosok yang selalu aku rindukan itu. Ibu terdiam sesaat lalu tersenyum tipis, “minumlah dulu.. kau pasti lelah fif, nanti kita temui rasha.” Aku mengangguk, lalu menyeruput kopi yang sudah disediakan untukku. Mungkin rasha masih marah dan tak mau menemuiku.
***
Aku terdiam ketika ibu membawaku ke kamar rasha, tak ada rasha di sana. Tapi aroma kamar itu.. ah ini benar-benar kamar rasha, untuk sesaat aku merasakan keberadaan rasha.
“Bu, apa rahsa sedang ke luar? Apa dia sedang di taman?” aku mencoba bertanya pada ibu, karena meski sudah mencarinya hingga ke kamar tapi kami tak menemukan rasha sama sekali. Ibu hanya diam dan mengambil sesuatu dari laci meja belajar rasha.
“Fif... maafkan rasha karna dia tak pernah mengirimkan balasan suratmu. Tapi sebenarnya dia membalas semua suratmu. Ini adalah semua balasan untuk semua suratmu, tapi dia tak pernah mengirmimkannya.”
Aku diam dan mengambil tumpukan surat yang diberikan ibu, ini begitu banyak.. ini semua balasan atas semua suratku selama berberapa tahun ini. Ah, rasha kenapa kamu tak mengirimkannya.
“Tapi dimana rasha sekarang bu?” aku kembali bertanya.
“Dan ini surat yang dia terakhir tulis untukmu.” Ibu tak menjawabku, beliau malah memberikan kepadaku sebuah surat lain. Ah ada apa ini? Apa rasha berniat tidak ingin menemuiku dan hanya membiarkan aku membaca surah ini saja, ayolah... aku pulang untuk melihat rasha bukan untuk membaca suratnya.
“Bacalah..” ibu berkata sebelum akhirnya beranjak meninggalkan aku sendiri di kamar rasha dengan sura-surat ini.
Aku diam, ada sebuah perasaan yang akhirnya menggelikit hatiku. Sebaiknya aku mulai membaca surat ini, mungkin didalam surat ini rasha mengatakan dimana dia sekarang. Aku mulai membuka surat-surat rasha secara acak, aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya dia rasakan selama bertahun-tahun berpisah denganku.
Terimakasih fif sudah mengingat ulang tahunku, dan kalung hati ini... aku rasa kamu ingin mengatakan kalau aku masih ada di hatimu dan tak akan pernah kamu tinggalkan meski sekarang kita berpisah.
Terima kasih fif.. ini mungkin sedikit menghiburku walau satu-satunya yang bisa membuat aku bahagia adalah ketika kamu ada disini, merayakan ulang tahunku seperti tahun-tahun sebelumnya..
Tapi kamu sudah memilih, dan mungkin tahun-tahun berikutnya pun kamu tak akan ada untuk merayakan ulang tahunku..
Semoga di sana kamu baik-baik saja.. fif, aku selalu ingin kamu segera pulang... cepat selesaikan semuanya atau aku tak akan pernah memaafkanmu karena sudah meninggalkanku.
Semangat fif!
Rasha, meski nyatanya aku sedikit terlambat tapi aku sudah kembali, lalu apa sekarang kamu memaafkanku? Aku kembali membaca surat rasha secara acak..
Hei, afif.. jangan berkata semua itu seakan mau membunuhmu. Begitu saja kamu sudah ingin menyerah? Huh.. lalu apa artinya kamu sudah meninggalkan aku selama empat tahun? Sedikit lagi.. berjuang sedikit lagi saja maka kamu bisa menggapai mimpimu dan segera kembali.
Maaf tak menjawab telponmu, mendengar suaramu saja aku sudah sangat bahagia, aku bahkan menangis.. lalu apa kamu mau mendengar suaraku yang sedang menangis? Kamu nanti tak akan tahan dan akan berlari pulang, maka semuanya akan sia-sia.. jadi aku memilih diam, mecoba mendengarkan semua pesanmu untuk selalu menjaga kesehatan dan menjaga diri... ini terdengar seperti kamu sedang mengkhawatirkan aku. Terima kasih fif.. dan aku akan terus menunggumu, yah sepertinya aku masih menantikan janji kita.
Afif berjuang yah agar impian afif tercapai, afif harus jadi dokter yang baik, dokter yang akan menyelamatkan banyak orang.. dokter yang hebat.. Berjuang!
Kamu benar-benar aneh ras, tega sekali tak membiarkan aku mendengarkan suaramu bahkan tega sekali membiarkan aku tak tahu kamu sedang menangis tanpa aku bisa menghiburmu. Kali ini aku sudah tak sabar untuk membaca surat terakhir yang kamu tulis, mungkin sekarang kamu akan mengatakan dimana kamu sebenarnya, agar aku bisa berlari menujumu.
Afif... ini sudah beberapa tahun setelah semuanya berlalu. Kamu sudah lulus kedokteran kan? ah dokter afif, akhirnya kamu bisa menggapainya. Yah hanya tinggal beberapa waktu dan kamu akan menjadi dokter yang sebenarnya.
Aku ingat ketika dulu kita pernah mengatakan mimpi kita masing-masing.. dan mimpi kamu adalah menjadi dokter. Dan mimpiku... apa kamu mengingatnya?
Mimpiku hanya sederhana fif, aku hanya bermimpi untuk tak kehilangan siapapun lagi dalam hidupku. Tidak kehilangan selamanya lagi seperti aku sudah kehilangan ayah dan ibuku..
Kamu ingat apa yang kamu katakan waktu itu fif?
Kamu diam sesaat.. lalu kamu berjanji, kamu tidak akan pernah membuat aku merasakan kehilangan lagi . Lalu kita berjanji untuk selalu bersama selamanya. Dan tahukah kamu fif, aku sangat percaya kata-katamu sampai kamu memilih untuk meninggalkanku meski untuk sementara.
Maaf bila aku marah berlebihan, tapi aku pikir kamu akan mengerti kalau kamu mengingat semuanya.. aku sudah kehilangan orang-orang yang paling aku cintai, dan aku hanya punya kamu dan ibu.. meski aku juga punya adik-adik yang senasib dengan kita.. tapi aku paling takut kehilangan kamu dan ibu.
Fif, aku mengerti bahwa kamu tak bermaksud meninggalkan aku selamanya, nyatanya juga kamu selalu mengirimi aku surat meski aku tak pernah membalasnya, kamu selalu mengirim kado untuk ulang tahunku, bahkan kamu selalu menelponku ketika rasa kangenku sudah memuncak.. maaf bila aku egois dan memaksamu untuk selalu ada di sisiku.. tapi terpisah seperti ini membuat aku semakin khawatir aku akan kehilanganmu....
Aku lelah menunggumu, menunggu kamu menepati janji untuk pulang dan kembali bersamaku untuk selamanya, karna sepertinya aku tak sanggup lagi menunggumu..
Maaf fif, sepertinya aku tak sanggup lagi menunggumu di sini.. Maaf..
Terima kasih sudah menjadi seseorang yang selalu setia bersamaku, terima kasih sudah tak meninggalkanku meski akhirnya kita tetap berpisah.. terima kasih sudah membuat aku tak pernah merasa sendiri setelah semua kehilangan itu. Terima kasih fif..
Tapi maaf, aku pergi...
Aku terkejut membaca surat terakhir dari rasha apa maksudnya semua ini, kenapa dia pergi begitu saja? Kenapa dia tak menungguku?
Aku berlari keluar dari kamar rasha dan kemudian menemukan ibu tengah menangis di ambang pintu, ada apa ini.. kenapa ibu menangis?
“ibu kenapa?” aku mencoba memeluk orang paling mulia dalam hidupku dan rasha, seseorang yang menyelamatkan hidupku dan hidup rasha, membuat kami merasa memiliki rumah dan keluarga.. ibu yang merawat kami. Ibu yang menyayangi kami seperti anak kandungnya sendiri. Aku mengerti bila sekarang beliau sedih, ibu pasti ingat rasha.. rasha yang pergi begitu saja tanpa menungguku.
“rasha.... kemana bu?” aku menggenggam tangan ibu yang gemetar karena dia masih menangis tersedu-sedu, meski sudah reda tapi getaran di tubuhnya masih ada.
“dia pergi,..” dengat sangat lembut ibu membuka suara,
“dia pergi... dia tak bisa menunggumu lebih lama lagi...” air mata ibu kembali mengalir, ada sesuata yang menusuk jantungku ketika ibu mengatakan semua itu. Mengapa dia tak bisa menungguku sedikit lagi saja, sampai hari ini.. sampai aku kembali dan membuktikan aku akan menepati janjiku dan membuat dia tak akan pernah merasakan kehilangan lagi.
“maafkan rasha fif...”
“tapi bu, rasha kemana? Mungkin afif bisa menyusulnya dan kemudian membawanya kembali ke sini bu, bu.... afif benar-benar ingin menemui rasha, afif yang harus minta maaf pada rasha karena afif terlambat datang..” aku mempererat genggaman tanganku, mencoba menyalurkan lebih banyak kehangatan pada ibu agar beliau bisa mengatakan kemana rasha sebenarnya pergi.
“Dia pergi ke tempat ayah dan ibunya...” kata-kata itu tiba-tiba saja membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ini tidak mungkin... rasha....
“Dia sakit semenjak kamu pergi fif, dan entah bagaimana dia malah memilih menyerah sebelum kamu pulang... dia bilang dia lelah dan ingin menemui ibu dan ayahnya.....” ibu tak sanggup lagi berkata-kata tubuhnya semakin terguncang hebat, meski aku memeluknya aku sendiri tak bisa memberikan ketenangan padanya.. karena aku sendiri hancur, aku merasa dihempaskan ke tengah samudra dan sekarang aku merasa tak memiliki tubuhku lagi, tak memiliki jiwaku lagi.. karena separuh hatiku meninggalkanku untuk selamanya...
***
“fif, kamu punya mimpi?” rasha yang sedang bermain ayunan disampingku tiba-tiba saja bertanya serius kepadaku. Pipinya yang merah karena tadi aku cubit membuat aku semakin gemas.
“iya, afif punya mimpi... afif ingin jadi dokter, afif ingin tak ada lagi yang meninggalkan afif hanya karena penyakit bodoh yang tak bisa di sembuhkan..” bola mata rasha membulat ketika aku mengatakan itu, ah dia mungkin terlalu kecil untuk mencerna kata-kataku. Yah, anak perempuan berumur delapan tahun yang lucu seperti rasha, mungkin tak mengerti kata-kataku, anak berumur sepuluh tahun yang sudah kehilangan semua keluarganya karena penyakit bodoh yang tak pernah bisa aku mengerti.
“rasha juga punya mimpi... rasha tak ingin merasakan kehilangan lagi, tak ingin kehilangan ibu.. tak ingin kehilangan afif..”
Aku terdiam, rasha... aku lupa rasha juga pernah merasakan kehilangan yang mengerikan, kehilangan ayah dan ibu.. rasha ditinggalkan ayah dan ibu dan tak punya saudara sama sekali...
“afif janji afif gak akan pernah meninggalkan rasha, selalu bersama rasha dan selalu ada untuk rasha...” mata rasha semakin membulat, wajahnya mencerah dan senyumnya mengembang, rasha berlari-lari di taman, lalu tersenyum dari tempat yang indah dan jauh itu.
Sekarang rasha tak akan merasakan kehilangan lagi, karena afif ada di sini... meski terpisah afif akan selalu ada di sini... dan rasha harus janji untuk menunggu afif datang ke taman yang indah itu untuk kembali bersama, dan nanti untuk selamanya...
***the end***
kehilangan, perpisahan, dan ketidakbersamaan... asalkan hati masih saling terkait, maka tak perlu khawatir.... karena akan ada pertemuan yang abadi nanti.. yah, semoga akan ada pertemuan abadi di taman terindah yang kekal selamanya...
maka hanya perlu membuat diri pantas untuk masuk ketaman itu dan tak akan ada lagi kehilangan dan perpisahan...
***
Yuliana Indriani, 11 desember 2010, 09.09
Jumat, 10 Desember 2010
Kamis, 02 Desember 2010
satu menit...
suara-suara berisik ini benar-benar mengangguku, bagaimana aku bisa berfikir tenang dalam keadaan seperti ini?
tubuhku terpaku didepan seorang wanita yang terbaring tak berdaya bersimba darah di samping sebuah sepeda motor yang sudah tak berbentuk, tubuhku kemudian bergetar hebat dan air mata mengalir deras di kedua pipiku,.
--
aku menangis sendirian, berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan ditengah hujan deras...
aku terus menangis dan berteriak meski nyatanya tak ada tanda-tanda sama sekali akan ada yang mendengarkanku tapi aku tak peduli.. harus ada seseorang yang menolong kami, harus ada! karena aku tak mau kehilangan kakakku.
'siapapun tolong selamatkan kakakku!'
aku kembali berteriak sambil menangis memeluk kakakku yang terbaring lemah dengan bersimba darah.. aku tak mau kehilangan kakakku! tak pernah mau!..
--
'siapa pun tolong selamatkan wanita ini!' tanpa sadar aku berteriak sekeras-kerasnya membuat kerumunan orang yang sibuk sendiri itu terdiam sesaat.
'paman, tolong telepon rumah sakit dan minta ambulan secepatnya..' aku menunjuk seorang paman yang berada paling dekat denganku. namun paman itu tetap terdiam, aku sempat kesal dengan sikapnya tapi mungkin dia masih terkejut.
'yah paman.. mohon bantuannya.' paman itu akhirnya mengerti dan segera mengambil handphone yang terletak di pinggangnya dan segera menghubungi rumah sakit.
aku menahan napasku sejenak, mencoba menenangkan diri, satu menit saja.. aku butuh satu menit saja untuk meyakinkan diriku.
aku kembali mendekatkan diri kearah wanita yang malang ini, dia tetap tak berdaya, ku raba denyut nadinya dan ku pastikan napasnya.
dia.. dia sudah tidak bernapas.
tidak mungkin! tadi ku lihat dia masih setengah sadar dan juga nadinya masih berdenyut meski lemah.
mungkinkah aku terlambat satu menit?
ku coba melakukan bantuan pernapasan, mencoba melakukan pertolongan pertama pada wanita ini.
'hai! apa yang kau lakukan? apa kau dokter?' salah seorang dari kerumunan itu bertanya padaku, tapi aku tak menghiraukannya aku tak punya waktu untuk menjelaskan apapun..
--
'apa kau dokter?' aku bertanya pada seseorang yang sekarang berusaha menolong kakakku, entah bagaimana dia adalah satu-satunya orang yang mendengar teriakanku dan akhirnya bersedia membantu.
'kau punya pisau dan pipet atau pena?' dia malah bertanya kepadaku.
--
'aku hanya berusaha menyelamatkanya.. maka tolong percaya padaku. tolong berikan pisau dan pipet!'
--
tubuhku terpaku didepan seorang wanita yang terbaring tak berdaya bersimba darah di samping sebuah sepeda motor yang sudah tak berbentuk, tubuhku kemudian bergetar hebat dan air mata mengalir deras di kedua pipiku,.
--
aku menangis sendirian, berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan ditengah hujan deras...
aku terus menangis dan berteriak meski nyatanya tak ada tanda-tanda sama sekali akan ada yang mendengarkanku tapi aku tak peduli.. harus ada seseorang yang menolong kami, harus ada! karena aku tak mau kehilangan kakakku.
'siapapun tolong selamatkan kakakku!'
aku kembali berteriak sambil menangis memeluk kakakku yang terbaring lemah dengan bersimba darah.. aku tak mau kehilangan kakakku! tak pernah mau!..
--
'siapa pun tolong selamatkan wanita ini!' tanpa sadar aku berteriak sekeras-kerasnya membuat kerumunan orang yang sibuk sendiri itu terdiam sesaat.
'paman, tolong telepon rumah sakit dan minta ambulan secepatnya..' aku menunjuk seorang paman yang berada paling dekat denganku. namun paman itu tetap terdiam, aku sempat kesal dengan sikapnya tapi mungkin dia masih terkejut.
'yah paman.. mohon bantuannya.' paman itu akhirnya mengerti dan segera mengambil handphone yang terletak di pinggangnya dan segera menghubungi rumah sakit.
aku menahan napasku sejenak, mencoba menenangkan diri, satu menit saja.. aku butuh satu menit saja untuk meyakinkan diriku.
aku kembali mendekatkan diri kearah wanita yang malang ini, dia tetap tak berdaya, ku raba denyut nadinya dan ku pastikan napasnya.
dia.. dia sudah tidak bernapas.
tidak mungkin! tadi ku lihat dia masih setengah sadar dan juga nadinya masih berdenyut meski lemah.
mungkinkah aku terlambat satu menit?
ku coba melakukan bantuan pernapasan, mencoba melakukan pertolongan pertama pada wanita ini.
'hai! apa yang kau lakukan? apa kau dokter?' salah seorang dari kerumunan itu bertanya padaku, tapi aku tak menghiraukannya aku tak punya waktu untuk menjelaskan apapun..
--
'apa kau dokter?' aku bertanya pada seseorang yang sekarang berusaha menolong kakakku, entah bagaimana dia adalah satu-satunya orang yang mendengar teriakanku dan akhirnya bersedia membantu.
'kau punya pisau dan pipet atau pena?' dia malah bertanya kepadaku.
--
'aku hanya berusaha menyelamatkanya.. maka tolong percaya padaku. tolong berikan pisau dan pipet!'
--
'tapi... apa kau yakin?' aku mencoba meyakinkan bahwa dia tidak akan salah bertindak. dia menatapku, 'percayalah, aku hanya ingin menyelamatkannya'
--
dengan hati-hati aku membuat sebuah sayatan kecil di lehernya setelah sebelumnya memastikan bahwa itu adalah tempat yang tepat, lalu dengan hati-hati ku masukan pipet itu ke sayatan yang ada di leher itu lalu perlahan ku alirkan pernapasan bantuan dari pipet itu.. 'dia harus bernapas, dia harus mendapatkan oksigen dan aku tak boleh terlambat satu menit pun'.. aku berdo'a dalam hati agar semua yang aku lakukan ini bisa menyelamatkan wanita ini.
beberapa saat, akhirnya bisa ku rasakan dia mulai bernapas.. yah dia bernapas.. dia selamat.
--
'kau menyelamatkan kakak ku.' aku duduk di samping seseorang yang ku anggap pahlawan. dia menatapku sekilas lalu tersenyum.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, tapi semuanya adalah kuasa Allah.' dia kemudian berdiri, dan mulai beranjak.
'terima kasih sudah melakukan yang terbaik..!' aku setengah berteriak berterima kasih kepadanya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali tersenyum. 'terimakasih sudah mempercayaiku.'
--
'terima kasih sudah menyelamatkan ku.' wanita itu tersenyum ketika aku menjenguknya sore itu.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.' aku mencoba tersenyum padanya.
'hm.. yah, terima kasih sudah melakukan yang terbaik, andai kau terlambat menolongku satu menit saja maka aku tidak akan ada di sini.' dia menatapku tulus, ah dia benar-benar mengingatkanku pada seseorang, pada diriku.
'semuanya karena kuasa Allah.. dia yang telah mengatur semuanya.'
'tapi bolehkah aku bertanya bagaimana kau bisa yakin untuk menyelamatkanku dan yakin untuk melakukan pertolongan seperti itu.. apa kau dokter?'
--
'tapi apa yang membuatmu yakin untuk melakukan hal itu pada kakakku?' aku mencoba menahannya dengan pertanyaanku.
dia mengalihkan pandangannya padaku, 'aku tak boleh terlambat satu menitpun untuk menolong kakakmu bernapas... ah kau terlalu kecil untuk mengerti, maka bila kau ingin mengerti belajarlah menjadi dokter dan lakukanlah yang terbaik untuk membantu orang-orang.. dan aku pun sedang belajar.' dia mengusap kepalaku dan akhirnya benar-benar pergi.
--
'apa kau dokter?'.. dia mengulangi pertanyaanya padaku, aku tersenyum kepada wanita itu, 'aku sedang belajar.. dan aku rasa aku harus siap suatu saat nanti..'
'... yah aku harus siap, tanpa perlu menangis tanpa harus menunda satu menit pun aku harus siap melakukan yang terbaik...'
--
dengan hati-hati aku membuat sebuah sayatan kecil di lehernya setelah sebelumnya memastikan bahwa itu adalah tempat yang tepat, lalu dengan hati-hati ku masukan pipet itu ke sayatan yang ada di leher itu lalu perlahan ku alirkan pernapasan bantuan dari pipet itu.. 'dia harus bernapas, dia harus mendapatkan oksigen dan aku tak boleh terlambat satu menit pun'.. aku berdo'a dalam hati agar semua yang aku lakukan ini bisa menyelamatkan wanita ini.
beberapa saat, akhirnya bisa ku rasakan dia mulai bernapas.. yah dia bernapas.. dia selamat.
--
'kau menyelamatkan kakak ku.' aku duduk di samping seseorang yang ku anggap pahlawan. dia menatapku sekilas lalu tersenyum.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, tapi semuanya adalah kuasa Allah.' dia kemudian berdiri, dan mulai beranjak.
'terima kasih sudah melakukan yang terbaik..!' aku setengah berteriak berterima kasih kepadanya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali tersenyum. 'terimakasih sudah mempercayaiku.'
--
'terima kasih sudah menyelamatkan ku.' wanita itu tersenyum ketika aku menjenguknya sore itu.
'aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.' aku mencoba tersenyum padanya.
'hm.. yah, terima kasih sudah melakukan yang terbaik, andai kau terlambat menolongku satu menit saja maka aku tidak akan ada di sini.' dia menatapku tulus, ah dia benar-benar mengingatkanku pada seseorang, pada diriku.
'semuanya karena kuasa Allah.. dia yang telah mengatur semuanya.'
'tapi bolehkah aku bertanya bagaimana kau bisa yakin untuk menyelamatkanku dan yakin untuk melakukan pertolongan seperti itu.. apa kau dokter?'
--
'tapi apa yang membuatmu yakin untuk melakukan hal itu pada kakakku?' aku mencoba menahannya dengan pertanyaanku.
dia mengalihkan pandangannya padaku, 'aku tak boleh terlambat satu menitpun untuk menolong kakakmu bernapas... ah kau terlalu kecil untuk mengerti, maka bila kau ingin mengerti belajarlah menjadi dokter dan lakukanlah yang terbaik untuk membantu orang-orang.. dan aku pun sedang belajar.' dia mengusap kepalaku dan akhirnya benar-benar pergi.
--
'apa kau dokter?'.. dia mengulangi pertanyaanya padaku, aku tersenyum kepada wanita itu, 'aku sedang belajar.. dan aku rasa aku harus siap suatu saat nanti..'
'... yah aku harus siap, tanpa perlu menangis tanpa harus menunda satu menit pun aku harus siap melakukan yang terbaik...'
..yang diajarkan seorang teman kepada ku..
lengan kekarmu perlahan menggapai tiang halte itu,perlahan tetapi pasti kau melangkah menaiki satu persatu tangga,yah pelan..amat perlahan kau akhirnya hampir mencapai pintu halte itu. tapi kemudian deru bis terdengar lebih kencang dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan dirimu yang melambai-lambaikan tangan.
'hey! apa yang salah?ada apa ini? tidak kah kau lihat kakek tadi juga ingin menumpang? apa kau buta!' ingin sekali aku berteriak pada kondektur dan supir bis ini,walau kata-kata itu nyatanya tak keluar sama sekali dari bibirku. aku hanya diam dan tetap menatap kasihan kakek yang tertinggal di halte tadi.
pikiranku melayang pada sebuah artikel yang kubaca beberapa waktu yang lalu. sebuah sindiran tentang ketidakpedulian orang-orang jaman sekarang, disampaikan lewat kisah seorang kakek yg salah naik bis dan tak punya uang lebih. aku kembali merenungi kisah itu dan juga kejadian tadi.
ah, ini mengesalkan ketika aku harus mengakui bahwa mungkin aku mulai keracunan pola pikir orang jaman sekarang yang punya ketidakpedulian tingkat tinggi khususnya pada orang2 sekitar yang tak berdaya dan tak dikenal.
hm, artikel itu bilang harusnya kita merenung.. bagaimana kalau kakek itu adalah kakek kita? bagaimana kalau orang yg tak dipedulikan siapa pun itu adalah keluarga kita?
tapi aku tak punya..
bis berhenti di halte berikutnya, kulangkahkan kakiku keluar dari bis itu. perlahan aku berjalan menyusuri jalan setapak yang pernah aku lewati bersama sahabatku.
langkahku berhenti di depan sebuah pohon besar tempat aku pertama kali bertemu dengan sahabatku itu.
'kenapa kau sendiri disini?' aku diam ketika pertama kali dia menegur aku yg duduk sendirian.
'kau tak sedang kabur dari rumah kan? kau terlihat berantakan.' dia tanpa peduli bagaimana aku tak mengacuhkannya tetap saja menanyaiku banyak hal dan terlihat begitu peduli padaku.. aku rasa mulai saat itulah kami menjadi sahabat.
'kau harus pulang. kau punya keluarga..'
itu adalah kata-kata terakhirnya setelah mendengarkan semua ceritaku. yah..seorang berambut putih itu yg tak pernah aku kenal itu yang berhasil membuat aku pulang ke rumahku yg kacau itu.
dia.. dia bukan kakekku dan aku bahkan tak mengenalnya, tapi dia peduli padaku yg hancur saat itu.
aku mempercepat langkahku, dari kejauhan ku lihat seorang kakek terlihat letih menunggu di halte.
yah mungkin aku tak punya kakek untuk bisa membuat aku peduli,. tapi aku pernah belajar dari seorang sahabat tentang apa itu peduli..
'hey! apa yang salah?ada apa ini? tidak kah kau lihat kakek tadi juga ingin menumpang? apa kau buta!' ingin sekali aku berteriak pada kondektur dan supir bis ini,walau kata-kata itu nyatanya tak keluar sama sekali dari bibirku. aku hanya diam dan tetap menatap kasihan kakek yang tertinggal di halte tadi.
pikiranku melayang pada sebuah artikel yang kubaca beberapa waktu yang lalu. sebuah sindiran tentang ketidakpedulian orang-orang jaman sekarang, disampaikan lewat kisah seorang kakek yg salah naik bis dan tak punya uang lebih. aku kembali merenungi kisah itu dan juga kejadian tadi.
ah, ini mengesalkan ketika aku harus mengakui bahwa mungkin aku mulai keracunan pola pikir orang jaman sekarang yang punya ketidakpedulian tingkat tinggi khususnya pada orang2 sekitar yang tak berdaya dan tak dikenal.
hm, artikel itu bilang harusnya kita merenung.. bagaimana kalau kakek itu adalah kakek kita? bagaimana kalau orang yg tak dipedulikan siapa pun itu adalah keluarga kita?
tapi aku tak punya..
bis berhenti di halte berikutnya, kulangkahkan kakiku keluar dari bis itu. perlahan aku berjalan menyusuri jalan setapak yang pernah aku lewati bersama sahabatku.
langkahku berhenti di depan sebuah pohon besar tempat aku pertama kali bertemu dengan sahabatku itu.
'kenapa kau sendiri disini?' aku diam ketika pertama kali dia menegur aku yg duduk sendirian.
'kau tak sedang kabur dari rumah kan? kau terlihat berantakan.' dia tanpa peduli bagaimana aku tak mengacuhkannya tetap saja menanyaiku banyak hal dan terlihat begitu peduli padaku.. aku rasa mulai saat itulah kami menjadi sahabat.
'kau harus pulang. kau punya keluarga..'
itu adalah kata-kata terakhirnya setelah mendengarkan semua ceritaku. yah..seorang berambut putih itu yg tak pernah aku kenal itu yang berhasil membuat aku pulang ke rumahku yg kacau itu.
dia.. dia bukan kakekku dan aku bahkan tak mengenalnya, tapi dia peduli padaku yg hancur saat itu.
aku mempercepat langkahku, dari kejauhan ku lihat seorang kakek terlihat letih menunggu di halte.
yah mungkin aku tak punya kakek untuk bisa membuat aku peduli,. tapi aku pernah belajar dari seorang sahabat tentang apa itu peduli..
mimpi...
aku masih menatap punggungmu, masih tidak percaya semuanya harus terjadi. kamu.. kamu tanpa menoleh sekarang sudah pergi..
entah bagaimana aku bertemu denganmu, semuanya terasa begitu mendadak. aku memang sedang memikirkanmu, tapi.. entah bagaimana kamu bisa ada dihadapanku.
tubuhku terpaku beberapa saat, mungkin terkejut atau mungkin juga aku hanya tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bagiku ini benar-benar sulit dipercaya ketika kamu ada dihadapanku. kamu hanya diam, sedikit menunduk tanpa menatapku. untuk beberapa saat, tak ada yang terjadi.. mungkin kita bicara lewat bahasa yang lain atau mungkin kita benar-benar hanya diam.
beberapa saat berlalu dan kamu tetap dalam diam, sedangkan aku tetap bingung dengan semua ini..
semua keadaan ini membuat aku jengah, kamu hanya berdiri dihadapanku dengan kepala menunduk, dalam diam.. begitu saja. dan aku.. aku diam menatapmu yang seperti itu, ini mengesalkan! tak bisakah kamu bicara satu kata pun? setidaknya katakan lewat matamu, lewat raut wajahmu.. tapi kamu tak mengizinkan aku tahu apapun.
aku rasa ini saatnya aku pergi, meninggalkanmu dalam diam. meski ini lebih menyesakkan tapi setidaknya aku mencoba melakukan sesuatu untuk keluar dari keadaan ini.
'kita sudahi saja semuanya.. semua ini... rasanya lebih baik kalau tak seperti ini. aku pergi..'
kamu, bisa-bisanya kamu berkata seperti itu ketika langkahku melewatimu. aku berbalik, ingin rasanya mendengar kata-kata itu sambil melihatmu, mendengar semua itu sambil menatap mata itu.. karena aku tak percaya ini harus terjadi!
setidaknya izinkan aku mencari penjelasan apa maksud semua ini, kenapa harus pergi ketika masih bisa bersama?
tapi kamu.. kamu sudah pergi. dan aku hanya bisa menatap punggungmu dalam diam..
perlahan aku merasa tubuhku melayang, aku merasa ringan.. tanpa beban. apakah ini akhirnya? aku pergi ketika kamu tak ada disampingku..
cahaya putih itu tiba-tiba begitu menyilaukan. perlahan aku membuka mataku,apa ini artinya aku sudah di surga?
mataku menatap semua gambar tempat ini, langit-langit yg berwarna pink, dinding putih dengan hiasan bunga-bunga.. ini kamarku.
apa ini artinya semua yang terjadi tadi hanya mimpi? lalu apa ini pertanda kamu memang akan meninggalkan ku?
secepat kilat tanganku mencari-cari handphone, mencoba menghubungimu.. tapi kamu tak ada, kamu sudah pergi, tanpa kata.
air mataku tak terbendung, mimpi itu.. kamu.. mengapa tak katakan sesuatupun untukku?
dan semuanya berubah gelap.
entah bagaimana aku bertemu denganmu, semuanya terasa begitu mendadak. aku memang sedang memikirkanmu, tapi.. entah bagaimana kamu bisa ada dihadapanku.
tubuhku terpaku beberapa saat, mungkin terkejut atau mungkin juga aku hanya tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bagiku ini benar-benar sulit dipercaya ketika kamu ada dihadapanku. kamu hanya diam, sedikit menunduk tanpa menatapku. untuk beberapa saat, tak ada yang terjadi.. mungkin kita bicara lewat bahasa yang lain atau mungkin kita benar-benar hanya diam.
beberapa saat berlalu dan kamu tetap dalam diam, sedangkan aku tetap bingung dengan semua ini..
semua keadaan ini membuat aku jengah, kamu hanya berdiri dihadapanku dengan kepala menunduk, dalam diam.. begitu saja. dan aku.. aku diam menatapmu yang seperti itu, ini mengesalkan! tak bisakah kamu bicara satu kata pun? setidaknya katakan lewat matamu, lewat raut wajahmu.. tapi kamu tak mengizinkan aku tahu apapun.
aku rasa ini saatnya aku pergi, meninggalkanmu dalam diam. meski ini lebih menyesakkan tapi setidaknya aku mencoba melakukan sesuatu untuk keluar dari keadaan ini.
'kita sudahi saja semuanya.. semua ini... rasanya lebih baik kalau tak seperti ini. aku pergi..'
kamu, bisa-bisanya kamu berkata seperti itu ketika langkahku melewatimu. aku berbalik, ingin rasanya mendengar kata-kata itu sambil melihatmu, mendengar semua itu sambil menatap mata itu.. karena aku tak percaya ini harus terjadi!
setidaknya izinkan aku mencari penjelasan apa maksud semua ini, kenapa harus pergi ketika masih bisa bersama?
tapi kamu.. kamu sudah pergi. dan aku hanya bisa menatap punggungmu dalam diam..
perlahan aku merasa tubuhku melayang, aku merasa ringan.. tanpa beban. apakah ini akhirnya? aku pergi ketika kamu tak ada disampingku..
cahaya putih itu tiba-tiba begitu menyilaukan. perlahan aku membuka mataku,apa ini artinya aku sudah di surga?
mataku menatap semua gambar tempat ini, langit-langit yg berwarna pink, dinding putih dengan hiasan bunga-bunga.. ini kamarku.
apa ini artinya semua yang terjadi tadi hanya mimpi? lalu apa ini pertanda kamu memang akan meninggalkan ku?
secepat kilat tanganku mencari-cari handphone, mencoba menghubungimu.. tapi kamu tak ada, kamu sudah pergi, tanpa kata.
air mataku tak terbendung, mimpi itu.. kamu.. mengapa tak katakan sesuatupun untukku?
dan semuanya berubah gelap.
Langganan:
Postingan (Atom)