Mataku mengerjap sesaat ketika menengadahkan kembali kepalaku menghadap langit, sinar matahari yang perlahan menyapa memaksa pupil mataku kembali mengecil sesaat untuk menyesuaikan sinar yang seharusnya masuk ke kornea, perlahan mataku mulai terbiasa , mulai nyaman dan merasakan keindahan yang biasa ku sapa setiap hari. Hari ini lebih cerah dari biasanya, artinya langit akan terlihat semakin indah. Mataku masih menatap lembut langit, mencoba menikmati tiap pergerakan awan putih yang selalu bisa mendamaikan hatiku, bahkan ketika hatiku sangat kacau seperti sekarang.
Perlahan ku hapus sisa-sisa air mata yang masih membekas diwajahku, tak pantas aku bersedih ketika melihat keajaiban sedang ada di hadapanku. Ku biarkan hati dan pikiranku hanyut dalam keindahan ini, perlahan ku sandarkan tubuhku pada pohon beringin besar yang selalu setia menjadi sandaranku ketika aku membutuhkannya. Aku masih menatap awan-awan yang indah di atas sana, rasanya aku ingin terbang.. terbang bersama awan.
Burung-burung terlihat terbang berpasang-pasangan menuju rumah mereka, bersama.. dengan bahagia. Entah mengapa ada sedikit rasa sesak yang tiba-tiba kembali menyerangku. Perasaan yang menyiksa batinku, perasan yang sungguh tidak mengenakkan. Ku pejamkan mataku untuk sekedar berusaha sedikit menekan semua rasa yang menyiksaku ini. Tapi kenyataannya aku tak sanggup, bulir-bulir air mata itu kembali jatuh begitu saja mengiringi kepergian burung-burung yang bahagia itu.
***
Aroma kayu cendana tercium dari jarak 20 cm ketika aku membuka pintu kamarku, perlahan ku dorong daun pintu yang wangi itu dan kemudian dengan segera menguncinya, aku butuh waktu sendiri sekarang. Baru sesaat saja aku memasuki kamarku, menghirup aroma kamarku, dan merasakan kenyamanan karena aroma kayu cendana daun pintu kamarku tapi tubuhku sudah kembali lemas, semakin lemas. Mataku langsung memandang lesu sebuah figura yang selalu aku banggakan, rasanya aku ingin sekali tak percaya dengan semua yang terjadi saat ini ketika kembali melihat foto yang ada difigura itu.. akankah semuanya berakhir seperti ini saja? Semuanya hancur begitu saja... sungguh aku tak ingin percaya bahwa semua ini nyata.
***
Aku masih berdiri terpaku di tempatku, aliran darahku terasa mengalir begitu cepat, napasku bahkan tak punya irama yang jelas saat ini. Aku menatapnya tajam, sungguh aku tak percaya bahwa dia yang melakukannya, sungguh tak percaya.
“kenapa menatapku seperti itu? Sudah ku bilang aku tak mau... Jauhi aku! ” matanya terlihat merah dan nada bicaranya begitu bergetar ketika mengatakannya. Aku masih diam, masih menatapnya tak percaya. Dia... dia menghentakkan tangannya dengan paksa ketika seperti biasa aku menggandeng tangannya.
“Jangan bertingkah seolah-olah tidak tahu apa-apa! Apa sebenarnya yang kamu lakukan padaku? Katakan! Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan padaku! Aku cape bersabar menunggu kamu menjelaskan semuanya, tapi kamu... kamu selalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kamu bersikap seperti kamu sama sekali tidak pernah berbuat salah, berhentilah bersikap seperti itu terhadapku! Karena aku sudah tahu semuanya, dan aku membencimu!” dia berteriak keras kepadaku, berteriak di depan wajahku... dengan wajahnya yang memerah, dengan matanya yang berkaca-kaca. Bahkan hanya dengan menatapnya pun aku bisa merasakan hukuman yang paling menyakitkan bagiku.
Aku menundukkan kepalaku, mencoba membuat keadaan menjadi lebih baik dengan menampilkan sikap mengalah, mencoba memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa sebenarnya sehingga dia sangat marah kepadaku dan bahkan meneriakkan semua itu kepadaku? Apa yang telah aku lakukan?
“Aku kira kita teman...” kata-katanya kali ini terdengar begitu lemah. Perlahan ku angkat wajahku, ku lihat bulir-bulir air mata jatuh satu per satu dari ujung matanya yang semakin memerah. Ku tatap lembut wajahnya, aku ingin meyakinkan bahwa dia benar.. bahwa kita adalah teman, teman selamanya.. dan semua yang terjadi ini, apapun itu. Tak pernah sekalipun aku ingin membuatnya marah seperti sekarang, bahkan memikirkannya pun aku tak pernah. Tapi dia pergi.. perlahan langkah-langkah kakinya menjauh dari tempatku berdiri. Meninggalkan aku sendiri yang masih menatap lurus kearah bayangannya.
Aku terdiam, tubuhku lemas seketika itu juga. Apa sebenarnya yang terjadi tadi? Aku bahkan tak bisa memikirkan apa yang telah ku lakukan sehingga bisa membuatnya sebegitu marah kepadaku.
***
Setiap waktu, setiap detik dalam hidupku semenjak aku mengenalnya aku dan dia tak pernah bertengkar, dia adalah yang terbaik dari yang terbaik. Dia adalah yang terindah dari semua anugerah yang pernah aku terima.
Dan bila kini dia marah padaku, membenciku... pasti ada sesuatu yang salah diantara kami, tak mungkin tak ada alasannya,, tak mungkin terjadi begitu saja.
***
Tatapan matanya terasa menusuk jantungku setiap aku tanpa sengaja bertatapan dengan matanya. Mata itu, mata yang dulu selalu memancarkan sinar kasih sayang, sinar persahabat yang paling hangat kini terasa begitu dingin dan membekukan. dia berubah begitu cepat..
Aku berusaha menemuinya setiap waktu, aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh rasanya benar-benar aneh bila dia berubah begitu cepat, begitu saja.. tapi dia tak pernah mau menemuiku, bahkan ketika dengan sengaja aku menahannya. Dia kembali menatapku tajam, menampilkan wajah permusuhan dan kemudian melepaskan paksa tangannya dari tanganku, tanpa bicara satu katapun.
“..seandainya kau mengatakan satu kata saja untuk menjelaskan semuanya, maka aku bersedia menerima semuanya.. bahkan aku bersedia menghukum diriku sendiri untuk semua yang telah aku lakukan yang menyebabkan kau membenciku..”
***
Aku masih memegang erat figura itu, di sana.. kulihat gambar diriku dan nindi masih tertawa bersama, berangkulan dan terlihat saling bercanda, saling mencubit bahkan saling cemberut. Empat buah foto yang kami ambil di fotobox itu menjadi bukti persahabatan kami yang terlihat begitu sempurna, tanpa cacat.. tapi bisakah kenyataan itu kembali berubah seperti yang ada di foto ini, entahlah.
Aku menghelakan napasku, memandang kembali gambaran indah masa lalu yang tak pernah aku harapkan berakhir seperti sekarang.
“aku harap waktu berputar kembali hanya ke masa-masa indah ini... masa-masa kita tertawa bersama, bercanda bersama,.. hanya pada masa-masa ketika kebahagian itu tak pernah berganti sedih.. hanya pada masa ketika persahabatan selamanya menjadi mimpi kita bersama..”
Bersama malam yang kemudian perlahan menyelimutiku, aku membawa semua do’aku dalam tidurku berharap ketika aku terbangun nanti semua do’aku akan terkabul dan semuanya kembali kepada masa-masa paling membahagiakan pada hidupku, pada hidup kita..
***
Sinar matahari perlahan mengelitik kelopak mataku, sedikit malas sebenarnya aku membuka mata. Rasanya aku masih ingin berada di alam mimpiku, dimana semuanya masih seperti yang dulu. Tapi bukankah semuanya itu hanya mimpi, dan mau ataupun tidak aku harus siap menghadapi kenyataan. Dan bila aku ingin mimpiku menjadi kenyataan maka aku harus bangun dan berusaha mewujudkannya.
Aku segera bangkit dari tempat tidurku, menatap sejenak ke arah figura yang ada di atas meja kecil di samping ranjangku, yah... aku harus membuat semuanya menjadi nyata.
“... dan aku ingin kau pun bisa kembali merangkai semuanya bersamaku.... merangkai kembali mimpi kita bersama... kembali menjadi sahabat selamanya..”
***
Aku mempercepat langkah kakiku menuju ruang kepala sekolah, tadi nindi sempat bilang bahwa aku dipanggil oleh kepala sekolah. Dia masih bersikap dingin, bahkan sedikit terkesan jutek ketika menyampaikan bahwa aku dipanggil oleh kepala sekolah. Tapi ah, sudahlah... aku tetap akan selalu bersikap biasa, bersikap sama seperti biasanya ketika dia masih menjadi sahabatku... karena bagiku dia selalu sahabatku.
“Maaf pak, bapak memanggil saya?” perlahan aku berdiri di depan meja kepala sekolah. Beliau sedang menandatangani beberapa dokumen, entah apa itu.. tapi melihat aku sudah ada dihadapannya beliau menghentikan sejenak kegiatannya itu. Beliau tersenyum kepadaku dan kemudian memberikan kabar yang sungguh sangat membuat aku bahagia... semoga ini bisa menjadi obat dari semua permasalahan yang terjadi antara aku dan nindi.
Setiap detik berlalu begitu lambat ketika pelajaran berlangsung, sungguh rasanya aku ingin sekali menarik nindi keluar dari kelas saat ini juga untuk menyampaikan kabar gembira ini kepadanya. Andai saja dia masih duduk di sampingku dan tidak menatapku seakan ingin membunuhku seperti tadi setiap menatapku maka mungkin aku sudah dari tadi menariknya keluar dari kelas sejarah yang membosankan ini.
“.. kau tahu... seandainya saja aku bisa menukar semua kesempatan dalam hidupku dengan kesempatan untuk menyampaikan kabar ini padamu maka aku akan menukarnya saat ini juga... karena bagiku kesempatan membuatmu bahagia adalah lebih berarti dibanding semuanya..”
***
“nindi...” suaraku terdengar sedikit ragu-ragu, yah entah kenapa sekarang aku ragu-ragu bahkan hanya untuk memanggil namanya. Dia hanya menatapku sekilas lalu kakinya kembali melangkah.
“nindi..! tunggu sebentar...” kali ini aku melangkahkan kakiku untuk menyusulnya. Dia menghentikan langkahnya, lalu menatap dingin kepadaku. Ayolah... nindi tak bisakah kau kembali bersiap manis kepadaku sedikt saja. Aku ingin memberikan kabar gembira ini padamu.
“... hm.. nin, masih ingat lomba menulis yang kita ikuti bersama?” aku mencoba sedikit berbasa-basi padanya. Namun sayang, dia masih terlihat dingin. Bahkan sempat kulihat dia tersenyum sinis.
“masih berani kamu bahas ini sama aku? Apa kamu mau minta maaf? Maaf... aku sudah berusaha bersabar menunggu kamu meminta maaf selama ini, tapi kamu malah bersikap seperti tidak berbuat salah apa-apa... kamu hebat!” sungguh susunan kalimat yang dia ucapkan barusan tak bisa aku cerna sama sekali. Maksudnya apa? Aku hebat... maksudnya? Aku rasa aku kembali terlihat seperti orang bodoh dihadapannya, tapi aku benar-benar tidak mengerti apa-apa.
“aku kira kita teman... kita berbagi impian bersama dan berjanji mewujudkannya bersama. Tapi sekarang aku sadar, aku salah! Kamu... aku benar-benar tidak menyangka kamu melakukan semua itu! Kamu jahat.!”
“stop nindi! Aku benar-benar gak ngerti apa yang kamu omongin!” kali ini aku terpaksa berbicara dengan nada yang sedikit tinggi, tanpa sengaja mungkin aku sedikit berteriak... tapi itu bukan karena aku marah, aku hanya tak ingin dia dan aku tetap terjebak dalam keadaan dimana kita tidak saling mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“kamu! Kamu ini sahabat macam apa?! Aku selalu percaya sama kamu. Aku bahkan mempercayakan mimpi terbesarku kepadamu, tapi... tega-teganya kamu melakukan semua itu, menghianati kepercayaanku.” mata nindi terlihat memerah, napasnya tak teratur.
“kamu ini bicara apa? Aku benar-benar gak ngerti. Sebenarnya apa yang membuat kamu marah, membenci aku? Aku menghianatimu? Ayolah... bagaimana mungkin?” aku masih mencoba menahan semua perasaanku walau sungguh aku merasakan hatiku hancur seketika itu juga ketika dia bilang bahwa aku menghianatinya.
Perlahan dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah bundel kertas yang cukup aku kenal ada di tangannya. Sebuah bundel kertas yang hanya di jepit dengan satu buah penjepit kertas, yang sangat aku kenal dengan semua ketikan yang ada di dalamnya, bahkan titik dan komanya pun aku hapal.
“kamu.... kamu tidak mengirimkan karyaku kan? Kamu menghianatiku. Kamu hanya mengirimkan karyamu, dan kemarin aku dengar karyamu menjadi yang terbaik dan akan segera diterbitkan. Aku ingin menjadi yang pertama menyampaikannya padamu tapi ketika aku menunggumu, aku tanpa sengaja menemukan ini di dalam tasmu, ini cukup menjelaskan semuanya. Aku sama sekali tidak menyangka, kamu hebat sekali.” dia tersenyum begitu sinis sambil memegang erat karyanya itu.
Semuanya terjawab sudah. Ternyata ini penyebabnya. Ah, aku tak pernah menyangka bahwa inilah yang terjadi. Semuanya, kesalahpahaman ini, hampir saja membuat aku percaya bahwa persahabatan kami tak bisa lagi dipertahankan. Tapi untunglah... semuanya kini jelas bagiku. Perlahan aku tersenyum lembut kearahnya.
“..kamu ingat tentang semua impian kita untuk merangkai dan mewujudkan mimpi kita bersama, untuk bersahabat selamanya?”
“hhhh....” dia sepertinya tidak percaya bahwa yang keluar dari bibirku hanya kata-kata ini. “Tak ada gunanya aku bicara pada sahabat sepertimu..” dia terlihat sudah tak tertarik lagi dengan apa yang akan aku sampaikan, perlahan dia ingin meninggalkanku.
“semuanya hampir saja terwujud nindi.... hampir saja.” Langkah kaki nindi terhenti, dia diam. Dia menungguku melanjutkan kalimatku.
“yah, kamu adalah juara pertama lomba menulis itu, novel kamu akan segera diterbitkan! hanya saja.. sepertinya, lusa nanti kamu harus mengurus tiketmu sendiri untuk menghadiri launching novel pertamamu.” Dia membalikkan tubuhnya menatapku tak percaya. Aku hanya menatapnya lembut.. masih mencoba tersenyum kearahnya.
“tadi kepala sekolah sudah memberikan kabar pastinya... dan kamu harus percaya padaku kali ini.”
Dia masih menatapku tak percaya, perlahan dia mengangkat bundel kertas yang masih tergenggam erat ditangannya tadi. Mungkin dia berfikir aku hanya berbohong untuk membela diriku, tapi tidak.. ini kenyataannya.
“aku adalah pengagum tulisanmu nin, jadi wajarlah kalau aku menginginkan salinan draft tulisanmu. Lagi pula kamu sudah sempat memberikan izin untuk aku mengeprintkan lebih draft yang kamu minta kirimkan itu. Aku benar-benar mengirimkan karyamu.. hanya saja, ketika menuliskan nama di keterangan penulis aku sempat melakukan kesalahan, tapi aku sudah mengklarifikasinya dengan pihak penyelenggara lomba dan kepala sekolah juga membantu menjelaskan kesalahan itu. Dan tadi, semuanya sudah jelas... kamulah pemenang lomba itu... selamat nindi.”
Kedua bola mata itu terlihat basah, bulir-bulir yang jatuh dari kedua bola mata itu satu demi satu membasahi pudakku, dan rasa hangat akhirnya menjalar diantara kami berdua, rasanya sudah lama aku tak merasakan kehangatan ini.. aku merindukannya.
“Seandainya aku tahu semua itu... maafkan aku nel... maaf...” aku tersenyum kearahnya mencoba mengungkapkan bahwa dia tak perlu begitu menyesali semuanya, karena semuanya sudah terjadi dan pada kenyataanya semuanya juga berakhir indah.
” tapi... mau kan nemenin berangkat ke launchingnya lusa nanti? Aku takut kalau sendirian..”
“huuuu!! Dasar penakut! ” kami pun akhirnya kembali tertawa bersama. Semoga untuk selamanya...
***
Aku tersenyum membaca sebuah halaman di salah satu novel paling berharga yang pernah aku miliki. Sebuah kalimat indah itu selalu berhasil membuat aku tersenyum bahagia tiap kali membacanya, ah... dasar nindi.. padahal sudah nulis novel entah udah berapa kali tapi masih aja nulis ginian di halaman pertamanya...
“ ...... karena sahabat adalah kekuatan, dan kekuatanku adalah kau. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki, arnely.... aku selalu merindukan setiap detik yang kita habiskan bersama mengukir mimpi dan mewujudkannnya bersama sebagai sepasang sahabat.. seperti burung yang selalu terbang bersama menuju tempat terindah... love you always sist. Sukses selalu yah, lain kali kita jalan-jalan bareng lagi, masih takut kalau naik pesawat sendirian, jadi kalau kamu ada jadwal terbang ajak-ajak yah... :D ”
“...kau tak perlu menunjukkannya kepada semua orang... karena yang paling penting bagiku adalah engkau selalu menjadi sahabatku selamanya, mengukir mimpi bersama dan mewujudkannya bersama...”
Aku menatap lembut ke arah jendela yang ada di sampingku, awan itu.. dulu aku selalu bermimpi untuk bisa terbang bersama awan... seperti sekarang. Aku tersenyum pada diriku sendiri, tanganku mengembalikan kembali novel itu kedalam loker kecil di kabin itu lalu sedikit merapikan seragamku. Dengan langkah yang pasti aku memasuki kabin lain yang lebih besar, tersenyum manis kepada semua orang yang ada di kabin ini, memastikan mereka merasa nyaman dalam penerbangan ini. Yah... ini adalah impianku dan aku sudah mewujudkannya untuk semakin sering terbang bersama awan.
**** the end****
Teruntuk sahabat-sahabat terbaikku.. semoga kita bisa selalu bersama, merangkai mimpi dan mewujudkannya bersama...
Love you all...
^_^
***
26/10/2010 21:28
...Yuliana indriani...
akhirnyaaa, makasih loh kak cerpennya bagus :)
BalasHapus