Maaf lama… enjoy yah, dan jangan lupa komen. Kritik dan saran sangat ditunggu. Thank you. ^_^
From Sivia’s Notes 13
Pernahkah kalian merasakan bahwa semua hal yang ada di sekitarmu seperti sedang berkonspirasi? mereka seakan-akan bersama-sama menyiapkan sebuah kejutan untukmu, burung-burung yang bernyanyi indah, sepoi angin yang perlahan mengayunkan ujung-ujung rambutmu, bunga-bunga yang bersemi dengan indahnya seakan selalu tersenyum untukmu, bahkan awan-awan yang berarak membuat langit seakan melukis sebuah pemandangan yang menawan. Semua seakan ingin memberikan yang terbaik untuk membuat hari mu menjadi berjuta kali lebih indah. Sebenarnya semua itu dapat dirasakan setiap saat, hanya saja mungkin aku baru saja melihat semuanya lebih jelas sekarang, ketika aku melihat semua itu terpancar dengan indah dari sosok disampingku yang dengan matanya yang berbinar menatap lembut awan yang berarak-arak di ujung langit.
“Aku selalu suka awan.. dengan hanya melihat kapas-kapas putih di langit biru yang cerah ini, semuanya terasa lebih damai.” gumam Mas Gabriel. Aku hanya mengangguk perlahan di sampingnya. Pagi ini aku kembali menemani mas Gabriel untuk sekedar berkeliling taman, dia yang memintaku, dan setelah pekerjaan pagiku yang dengan segera ku selesaikan aku menemaninya disini, menatap semua keajaiban yang diberikan oleh sang pencipta, Sang Maha Cinta.
“Besok ibu kembali..” tiba-tiba Mas Gabriel berkata pendek setelah beberapa saat kami kembali terhanyut dalam diam, menikmati keindahan taman ini.
“…Dan aku ingin memberikan kejutan, karena besok juga adalah hari ulang tahun ibu..” sambung mas gabriel, meski dia berkata dengan sangat datar aku bisa merasakan bahwa mas Gabriel sangat tulus, dia benar-benar ingin membuat ibunya bahagia.
“Wah, mas mau buat kejutan apa? Ada yang bisa via bantu?” kataku sambil tersenyum. Dia menatapku dingin, aku terkejut. Apa aku salah?
“Tentu saja kamu harus membantu, kamu kan memang ku minta untuk membantuku, lagi pula kamu kan suster pribadiku” katanya sambil tersenyum, dia sedang menggodaku. Dia.. dia benar-benar berbeda, entah kenapa. Tapi aku benar-benar menyukai perubahannya ini, sangat menyukainya.
Perlahan matahari mulai menanjak naik, aku dan mas Gabriel pun meninggalkan taman ini, sesegera mungkin kami harus membuat rencana dan mulai bekerja, besok harus ada kejutan paling manis untuk bu Tina.
***
Aku masih tak mengerti mengapa perubahan ini terasa begitu cepat, seseorang bisa berubah 180 derajat dalam sikap dan pemikirannya. Sangat sulit dipercaya, seseorang yang dahulu ku kenal sebagai sosok sedingin es yang hanya bisa memberikan sebuah senyum tipis dalam diamnya kini sosok itu sudah berubah menjadi sebuah sinar kecil yang hangat dan penuh cinta. Tapi aku percaya kalau ini kenyataan, ini nyata dan benar adanya, karena dari pertama melihat sinar kecil di matanya yang kelam, aku sudah merasa dia special, dia.. pasien yang pertama yang percaya padaku dan memberikan aku sebuah ruang dengan senyum tipisnya yang sekarang sudah menjelma sebagai senyuman pembawa kebahagiaan.. dia…. Gabriel.
***
Siang hari sambil menemani mas Gabriel makan siang di kamarnya, kami kembali membahas persiapan untuk kejutan besok. Dia diam sejenak, meletakkan satu sendok suapan nasi kembali ke dalam piringnya.
“Kamu tahu via, dulu aku selalu bermimpi untuk menghabiskan waktu di rumah sakit.. tapi sekarang aku malah merasa keinginan itu konyol, dan aku ingin segera keluar dari sini.”
Aku menatap mas Gabriel heran, apa maksudnya? Lagi pula apa kaitannya dengan persiapan kejutan yang aku bacakan ulang tadi, untuk sekedar memastikan bahwa semuanya sudah fix.
“Semuanya karena ini..” lanjut mas Gabriel sambil menunjukkan piring nasinya kepadaku.
“Loh, memangnya kenapa mas? Lagi pula mas memang aneh, kenapa juga mau menghabiskan waktu di rumah sakit? Mas kan kuliahnya tekhnik bukan kedokteran..” aku mencoba menanggapi pernyataan anehnya. Dia hanya tersenyum, melihat ekspresiku yang sepertinya terlalu serius.
“Dulu aku selalu bermimpi untuk sakit dan di rawat di rumah sakit, dengan begitu aku akan tahu siapa yang sebenarnya benar-benar menyayangiku. Karena bagiku, seseorang yang paling tulus menyayangi adalah seseorang yang ada ketika saat-saat paling tak mengenakkan dalam hidup kita. Aku rela melakukan apapun atau tinggal selama apapun untuk sekedar tahu dan bisa bersama dengan seseorang yang benar-benar menyayangiku.” Dia diam sejenak, sedikit memperhatikan aku yang mulai meresapi kata-katanya itu, sungguh bagiku kata-katanya seperti mantra yang membuat aku tak bisa berkata apa-apa.. dia, dia berfikir seperti aku berfikir.
“Tapi… sekarang aku malah merasa kalau teoriku ini konyol karena melupakan satu hal penting menyangkut betah atau tidaknya aku di sini.. yah ini, ternyata aku malah tidak betah di sini kalau harus terus memakan makanan yang sungguh tidak ada rasanya ini. Aku rasa kamu harus bilang ke koki rumah sakit ini untuk segera mengambil cooking class.. rasa makannya benar-benar buruk.” Kali ini dia tersenyum dan sedikit tertawa renyah, aku sedikit kaget namu akhirnya memilih tertawa bersamanya.
***
Sebuah senyuman terukir di wajahku, sungguh semua bayang-bayang itu masih terukir sangat jelas di hatiku. Tawa itu, tawa itu masih bisa aku ingat dan aku rasakan.. tawa bersama kami yang pertama. Tawa yang kemudian membuka lebih banyak lagi kesempatan untuk tertawa bersama, tawa yang menjadikan hatiku dan hatinya mulai merasa semakin nyaman untuk berbagi dalam suka maupun duka…
Aku kembali membalik halaman berikutnya dari diary coklatku dan hanya dalam hitungan milidetik kemudian aku kembali masuk ke dunia ku yang dulu, di saat-saat paling membahagiakan yang aku rasakan bersama seseorang yang aku rasa paling special selain ibuku.
***
Butir-butir embun membuat kaca jendela angkot yang aku tumpangi sedikit kabur, cahaya matahari pun masih sangat lembut menyapa, tidak terlalu hangat namun sangat indah pagi ini. Perlahan angkot sudah mulai mendekati sebuah stasiun kereta api, aku segera turun dari angkot itu dan membayar ongkos, setelah sedikit merapatkan kembali jaketku aku segera masuk kea rah stasiun, semoga aku tidak terlambat.
Tidak perlu lama menunggu ketika aku sampai ternyata kereta yang ditumpangi ibu mas Gabriel juga baru tida, dengan segera aku mendekati gerbong-gerbong kereta itu sambil memperhatikan satu persatu orang yang turun.
“Via!” sebuah suara memanggilku, aku tersenyum melihat ibu mas Gabriel yang baru saja turun dari sebuah gerbong dengan sebuah tas yang dijinjingnya. Segera aku menyambut ibu mas Gabriel, menyalaminya dan mengambil tasnya untuk aku bawakan… seperti yang selalu aku lakukan dulu kepada ibuku.
“Loh, kok bisa di sini? Kamu tidak kerja?” Tanya ibu mas Gabriel ketika kami sudah perlahan berjalan keluar dari stasiun.
“Mas Gabriel yang bilang kalau ibu akan pulang pagi ini, via sudah minta izin tadi bu, menjemput keluarga.. lagi pula ify bersedia bergantian shift tadi.” Jawabku sambil tersenyum.
“Terima kasih ya via.. oh ya, bagaimana keadaan Gabriel?” Tanya bu tina. Dia sebenarnya terlihat sangat lelah, tapi semuanya seakan tak menjadi masalah baginya yang dia pikirkan hanya Gabriel.
“Mas Gabriel sudah sangat baik bu, dokter bilang kesehatannya semakin meningkat..” jawabku, ingin rasanya aku bilang kalau mas Gabriel bahkan sangat membaik, dia bahkan sudah pintar menggoda dan yang paling penting dia sudah membuat kejutan unntuk ibu. Tapi aku sudah berjanji pada mas Gabriel untuk merahasiakannya, kejutan adalah kejutan.
Dari kejauhan, pagar putih rumah sakit terlihat bagai titik putih yang kemudian menjadi garis-garis putih dan kemudian terlihat dengan nyata menjadi sebuah pagar putih yang kokoh. Bu tina memang ingin langsung ke rumah sakit terlebih dahulu, dia ingin memastikan keadaan mas Gabriel, dan ini akan membuat kejutan dari kami terasa lebih manis, aku yakin.
***
Langkah bu tina seakan berpacu dengan waktu, entah kenapa bagiku dia seperti berlari-lari kecil seperti tak sabar untuk melihat mas Gabriel, mungkin dia khawatir atau mungkin merasa bersalah karena sudah meninggalkan mas Gabriel beberapa hari ini, itulah ibu… aku hanya bisa terus mengikuti langkahnya yang seperti langkah-langkah bidadari itu, langkah yang seperti sebuah tarian kasih sayang yang indah..
Aku sengaja membiarkan ibu tina membuka pintu kamar melati. Dia terlihat sedikit heran karena tidak menemukan mas Gabriel di ranjangnya yang terlihat rapi. Kemudian dia perlahan masuk dan meneliti setiap sudut kamar dan perlahan mengetuk pintu kamar mandi.. tak ada jawaban, mas Gabriel menghilang..
“Via, Gabriel kemana? Apa dia ada jadwal cuci darah sepagi ini?” Tanya bu tina sedikit heran. Aku diam.. ini apakan bagian dari kejutan? Tak ada jadwal cuci darah sepagi ini.. tapi mas Gabriel dimana, bukankah seharusnya dia tersenyum menyambut ibunya di depan pintu sambil membawa sebuah kue yang sudah ku buat dan kami hias kemarin sore dan aku antarkan pagi tadi? Jadi kemana dia.. aku hanya bisa mengangkat bahuku untuk memberikan isyarat kepada bu tina kalau aku juga tidak tahu kemana mas Gabriel..
“hm.. bu via akan coba tanya sama suster yang lain yah..” kataku sambil meletakkan tas milik bu tina dan kemudian menuju pintu. Baru saja aku ingin membuka pintu kamar itu, sayup-sayup mulai terdengar sebuah suara gitar.. aku perlahan memutar knop pintu kamar itu, suara gitar dan sebuah suara merdu kemudian dengan sangat indah memenuhi kamar ini,
“… menatap senyuman diwajahmu, membuatku terdiam dan terpaku… mengerti akan hadirnya cinta terindah.. saat kau peluk erat tubuhku…” aku terdiam.. sungguh ini kejutannya, mas gabriel perlaham masuk ke dalam kamar, masih dengan suara merdu dan gitarnya.. dia tersenyum kepadaku.
“…banyak kata.. yang tak mampu ku ungkapkan.. kepada dirimu….” Dia, meski hanya dengan pakaian rumah sakit yang sederhana, bagiku… dia terlihat seperti seorang pangeran. Perlahan dia melewatiku dan kemudian menuju bu tina yang sepertinya tidak kalah kaget denganku. Bu tina juga terdiam, hanya menatap penuh kepada mas Gabriel yang sekarang ada di hadapannya..
“Aku ingin engkau slalu… hadir dan temani aku.. disetiap langkah yang meyakiniku.. kau tercipta untukku.. spanjang hidupku….”. mas Gabriel langsung memeluk bu tina.. membisikka banyak kata cinta dan mungkin permintaan maaf yang paling tulus kepada seseorang yang bagi mas Gabriel adalah bidadari keduanya itu. Mereka berdua hanyut dalam tangis haru yang kemudian bagai sihir yang membuat bulir-bulir air mataku tanpa terasa mengalir di kedua pipiku. Aku.. aku benar-benar merasa seperti melihat sebuah adegan paling indah dalam episode kehidupan ini. Ketika cinta sudah mengikat dua hati, meski bukan oleh ikatan darah.. aku yakin ini ikatan paling tulus yang ada, ini ikatan cinta..
Aku baru saja hendak keluar dari kamar ini, mungkin ini adalah waktu yang paling bahagia untuk mereka.. tapi, suara gitar terdengar kembali, lebih keras dan lebih indah.. kali ini bu tina merangkulku, mas Gabriel bahkan kini ada di depan kami berdua… dengan suara merdunya yang seperti suara surga.
“…Aku ingin engkau slalu… hadir dan temani aku.. disetiap langkah yang meyakiniku.. kau tercipta untukku.. meski waktu akan mampu,, memanggil sluruh ragaku, kuingin kau tau.. ku slalu milikmu yang menyayangimu… spanjang hidupku..” dan dunia terasa seperti di negeri dongeng,.. aku hanya ini menikmati tiap milidetik yang terjadi sekarang, merasakan semua cinta yang seakan ikut menyelimutiku, merasakan sebuah kehangatan keluarga yang sudah lama tak ku rasakan semenjak ibu pergi.. dan demi apapun aku langsung memeluk bu tina yang ada di sampingku dan dalam hati aku sangat berterima kasih kepada mas Gabriel yang kini tersenyum dengan sangat hangat kepadaku.
Setelah beberapa saat paling indah itu.. kejutan belum selesai. Segera aku mengerling kepada mas Gabriel yang kemudian sepertinya juga mulai tersadar dengan cepat dia meletakkan gitarnya dan kemudian mengambil kue yang dia sembunyikan di lemari kecilnya.
“Selamat ulang tahun bu…” kata mas Gabriel dan aku setelah melepas pelukan dari bu tina. Ku lihat bu tina bagai tak percaya, matanya berbinar indah menatap sebuah kue sederhana dengan hiasan seadanya yang kami buat kemarin, tidak terlalu cantik memang.. tapi tulisan tangan kami yang penuh seni dengan kream di atasnya cukup membuktikan bahwa kue ini kami buat dengan penih cinta,. Hanya untuk ibu..
Bu tina benar-benar terharu, secara bergantian dia memeluk kami.. dia membisikkan banyak kata cinta dan terimakasih kepadaku.. aku membalas dengan membisikkan kata cinta dan do’a kepadanya. Semua rencanaku dan mas Gabriel sepertinya berhasil, setelah makan kue bersama-sama kami pun kemudian memberikan masing-masing kado yang sudah kami persiapkan kepada bu tina, lagi-lagi dia tanpak terharu dan kemudian bilang kalau kami benar-benar mengejutkannya dan membuatnya bahagia walau dengan cara memperlakukannya seperti anak kecil. Kami berdua hanya tertawa.. hanya ini yang bisa kami lakukan, kami hanya ingin membuat ibu bahagia.. mas Gabriel beberapa kali menatapku, matanya seakan-akan berkata bahwa dia sangat berterima kasih kepadaku, semua kekhawatirannya tentang bagaimana harus membuat ibunya bahagia dan bagaimana dia harus memulai semuanya sama sekali sudah dijawab tuntas oleh dirinya sendiri.. kini aku benar-benar yakin, dia… dia adalah seseorang yang special, penuh cinta dan ketulusan.. aku ingin saat-saat membahagiakan baginya tak pernah berakhir..
Aku baru saja ingin mengucapkan banyak terimakasih dan selamat kepada mas Gabriel ketika ku dapati dia sedang menekan perutnya dengan tangan kanannya.. aku terkejut, disaat-saat paling membahagiakan seperti ini… mungkinkah??
*****bersambung*****
Tolong masukkannya yah,. Karena saya masih mau belajar menulis, terima kasih. Dan maaf kalau seandainya belum sempat untuk di tag, semoga nanti aka nada kesempata.. jadi yang mau di tag, tetep tinggalin koment ya tentang cerita dan cara penulisannya..
Terima kasih..
_Yuliana Indriani._
Selasa, 31 Agustus 2010
Minggu, 15 Agustus 2010
"ini adeknya yah yang gambar? katanya gak punya adek?"
hahay... kemaren-kemaren ketika mau nulis sesuatu tiba-tiba gak tau apa yang mau ditulis, tiba-tiba jadi kepengen gambar, tapi apalah daya tak ada aplikasi untuk gambar karena laptop baru diinstal ulang. jadilah hanya dengan PAINT saya menggambar,, itu pun tanpa mouse..
check this out!
dan ketika saya tag ke kak ikhlas... dia komen:
"yuli, itu yang gambar adeknya yah? katanya gak punya adek? hehhehe"
-___-
hahhahaha parah!
check this out!
dan ketika saya tag ke kak ikhlas... dia komen:
"yuli, itu yang gambar adeknya yah? katanya gak punya adek? hehhehe"
-___-
hahhahaha parah!
From Sivia's Notes 12
maaf yah agak lama,,,, check this out!!
From Sivia’s Notes 12
Langit malam itu bagai sebuah taman dengan hiasan bintang-bintang yang bertaburan, berkelap-kelip penuh semarak. Sinar bulan pun terpendar dengan indah, memantul dan terbiaskan oleh butir-butir partikel di udara malam yang sejuk. Sungguh sebenarnya setiap hati akan merasa damai menikmati keindahan malam hari, terlebih lagi di sini. Di sini, di kaki gunung, dimana tak ada polusi cahaya oleh lampu-lampu dan juga asap kota. Di sini, dimana tak ada kebisingan dan udara penuh polusi. Di sini, di sebuah teras rumah sederhana dengan suasana seperti surga, dimana kedamaian merasuk dalam tiap hati penghuninya, benar-benar tenang tanpa ada pertengkaran dan kegelisahan.
“Kakak belum tidur?” rahmi perlahan mendekati bu tina yang sedang duduk di teras.
“Belum mi..” jawab bu tina sambil tersenyum menatap adiknya yang sekarang telah duduk di kursi teras plastik di sebelahnya.
“Kenapa? Apa ada yang tidak nyaman?” Tanya rahmi sedikit khawatir, jangan-jangan dia benar-benar tidak bisa memuliakan kakaknya sebagai tamu di rumahnya yang sederhana ini.
“Enggak kok. Kakak malah merasa sangat nyaman.” Sanggah bu tina cepat, dia tak ingin adiknya merasa bersalah apa lagi sedih. Ibu tina paham benar bahwa adik kecilnya ini mudah merasa tak enak dan sedih.
“Terus kenapa kak? Kakak ada masalah? Rahmi merasa kakak sedang mengalami masalah yang cukup berat, sejak kakak bilang akan ke sini jujur rahmi merasakan ada sesuatu. Ada apa kak sebenarnya?”
Bu tina terdiam sejenak, menarik napasnya untuk beberapa saat. Inilah mungkin saatnya dia mulai berbagi, berbagi pada adiknya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti dahulu. Mungkin adiknya dapat membantunya seperti yang dia harapkan dengan datang ke sini.
Bu tina menghelakan napasnya kembali, matanya mulai menatap lembut ke arah adiknya dan bibirnya pun mulai bercerita.
“Jadi, penyakit ginjal gabriel kian parah kak? Dan dia harus terus menerus cuci darah?” Tanya rahmi meyakinkan dirinya. Bu tina hanya mengangguk, menghelakan napasnya dan kemudian tertunduk lemah. Berat rasanya mengatakan semua beban yang menghimpitnya. Penyakit Gabriel.. hanya itu yang sebenarnya menjadi bebannya. Bukan karena dia terbebani dengan Gabriel, justru penyakit itulah bebannya, seandainya dia bisa mengganti posisinya dengan Gabriel dia justru lebih merasa tak ada beban. Tapi Gabriel… dia benar-benar tak bisa melihat Gabriel terus menerus menderita karena penyakit itu, rasa sayangnya sungguh teramat besar kepada anak itu.
“Lalu bagaimana kak?” Tanya rahmi lagi, ingin sekali dia bisa meringankan beban kakaknya itu. Dia tahu kakaknya sangat menyayangi Gabriel, dan itu melebihi rasa sayang kakaknya terhadap dirinya sendiri. Masih terbayang di ingatannya ketika kakaknya dengan penuh cinta merawat Gabriel sejak dia kecil, walau anak itu tak pernah menganggapnya sebagai ibu. Pun ketika ayah Gabriel meninggal dan Gabriel berubah menjadi anak pendiam, kakaknya tidak pergi meninggalkan Gabriel, dia tetap ada.. menjaga Gabriel dan tetap berusaha menjadi ibu yang baik. Dan ketika Gabriel pertama kali jatuh sakit dan didiagnosa memiliki penyakit ginjal yang sudah cukup parah, kakaknyalah yang selalu ada di sampingnya. Tanpa pernah mengeluh dan merasa letih.. tapi kali ini, kakaknya terlihat begitu rapuh.
“Kakak sudah hampir tak punya apa-apa lagi mi. Semuanya sudah tak ada, semuanya untuk membiayai pengobatan Gabriel. Kami sekarang hanya punya rumah peninggalan ayah Gabriel dan itu adalah hak Gabriel. Semua milik kakak sudah kakak jual, dan gaji kakak tidaklah cukup lagi untuk pengobatan Gabriel. Gabriel tidak bisa tanpa cuci darah, dia akan tersiksa. Kakak ingin dia sembuh, dan kakak akan melakukan apa pun untuk itu..” denagn sangat lembut bu tina menceritakan kegundahannya, dia mengambil napas sejenak dan kemudian bertanya.
“Kakak pernah janji kan kepadamu?”
“Janji apa kak?” Tanya rahmi tak mengerti, yah dia tak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Bila kakaknya ingin meminta bantuan biaya, dia tanpa ragu akan berupaya membantu. Tapi janji? Kenapa kakaknya malah bertanya tentang janji?
“Kakak pernah berjanji kelak untuk menjadikan anakmu seperti anak kakak sendiri, dan semua milik kakak akan menjadi miliknya..”
Rahmi terhenyak mendengar kata-kata kakaknya. Itu.. itu janji lama yang tak pernah dia ingat lagi. Sebuah janji yang diucapkan kakaknya bertahun-tahun yang lalu, sebelum kakaknya akhirnya menikah dan memiliki Gabriel. Sebuah janji yang diucapkan kakaknya dengan linangan air mata, janji yang diucapkan setelah operasi itu di lakukan, operasi yang kemudian memastikan bahwa kakaknya tak akan bisa punya anak dari rahimnya sendiri.
Mata rahmi berkilat demi mendengar ucapan kakaknya itu, untuk apa dia mengatakan janji itu. Lagi pula dia telah ikhlas, kakaknya sudah punya anak sendiri. Gabriel..
“Maafkan kakak mi, kakak gak akan bisa menunaikan janji kakak. Kakak gak bisa memberi apa-apa pada Lisa.” Kata bu Tina lemah.
“Kakak ini bicara apa? Kakak punya Gabriel, anak kakak dan bila semuanya untuk Gabriel, Rahmi rela kak dan Lisa pun pasti rela..” kata rahmi mulai menatap kakaknya tak percaya.
“Tapi mi, kakak masih punya sebidang tanah.. dan itu sudah kakak niatkan untuk Lisa. Hanya saja….” Kata-kata bu Tina tercekat. Tak sanggup rasanya dia mengatakannya. Tapi, mungkin inilah yang terbaik.
“kakak,,..” rahmi tak yakin apa yang akan kakaknya katakana, dia benar-benar tak mempermasalahkan janji itu. Melihat kakaknya bingung memikirkan janji yang sudah ia ikhlaskan itu benar-benar membuatnya merasa tak enak.
“Hanya saja kakak butuh uang untuk pengobatan Gabriel. Hanya tanah itu yang kakak punya sekarang,. Kakak… bolehkah meminta kamu lah yang menerima tanah itu. Untuk lisa.. untuk Gabriel.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga, entah harus bagaimana lagi dia menyusun kata agar pesannya bisa sampai dengan baik kepada rahmi, dia harap rahmi dapat mengerti bahwa dia ingin sekali memberikan tanah itu, harta satu-satunya yang dia miliki kepada Lisa, tapi.. tapi dia juga butuh uang untuk Gabriel.
Rahmi mengangguk, dia mengerti maksud kakaknya. Kakaknya ingin dialah yang membeli tanah itu. Kakaknya ingin Lisa dan Gabriel lah yang memiliki tanah itu. Kakaknya tetap ingin janji itu terlaksana. Dan dia.. dia akan berusaha mewujudkannya.
“Kakak… Rahmi akan mengusahakan semunya kak. Rahmi akan berusaha mewujudkan tanah itu sebagai milik Lisa dan juga agar tanah itu bisa membantu Gabriel.” Kata rahmi dengan yakin, perkara uang mereka cukup atau tidak biar nanti urusan dia dan bang tian, yang pasti dia yakin pasti ada jalan asal dia berusaha. Ini juga adalah satu-satunya cara untuk membantu kakaknya yang keras kepala, yang tak pernah mau menerima bantuannya.
“Terima kasih mi. terima kasih..” bu Tina kemudian serta merta memeluk tubuh adiknya itu, semua keraguan dan kegelisahannya hilang sudah. Semua beban mulai terasa ringan, tanpa ia sadari bulir-bulir air mata mengalir di pipinya, hangat pelukan itu benar-benar membuat semuanya lepas.. yah mungkin sebuah batu mulai terangkat dari bahunya untuk sesaat.
***
Kicau burung terdengar merdu bagai alunan sebuah melodi indah menyambut datangnya pagi, bersemangat dan riang. Perlahan sinar mentari mulai menerobos celah-celah jendela, mengintip dan akhirnya berpendar indah membentuk sebuah aurora.
Gabriel menatap hangat sinar mentari itu, perlahan diucapkannya salam paling hangat untuk sang ibu lewat bahasa kalbunya yang mengalun di dalam hatinya yang penuh dengan kerinduan, dan pagi itu dia juga menyelipkan salam untuk seseorang yang kembali masuk ke dalam mimpinya, dan ini untuk kesekian kalinya.
“Karena ibu akan selalu menyayangimu, Gabriel…” kata-kata itu kembali mengisi hatinya. Perlahan dipejamkannya kembali matanya untuk mengingat semua yang terjadi beberapa waktu yang lalu ketika kesehatannya kembali drop, ketika dia bersih keras tak mau di bawa ke rumah sakit, ketika semuanya terasa percuma, ketika harapan hidup tak pernah lagi bersinar di hatinya, dan ketika seseorang itu tetap berjuang dengan semua yang dia miliki hanya untuk Gabriel.. ketika itulah hatinya tiba-tiba merasakan sesuatu yang sungguh menggetarkan, sesuatu yang mengubah semuanya. Perasaan itu, semakin lama semakin kuat… tulus… sungguh sekarang dia sadar bahwa dia.. dia juga sayang ibu.. ibunya, tante tina.
“Tok.. tok..” dua ketukan di pintu itu cukup untuk membuat Gabriel sadar dan kembali membuka matanya untuk melihat sosok yang perlahan masuk dengan senyum manisnya yang khas sambil membawa sebuah papan pencatatnya.
“Pagi mas..” sapa sivia sambil tersenyum.
“Pagi via.” Sivia mengangkat wajahnya dari catatannya, kaget, jelas sekali sivia terlihat kaget. Gabriel tak pernah menjawab sapaannya dengan begitu akrab. Tak pernah sebelum kemarin. Dan semuanya terasa sangat mengagumkan, perubahan itu terasa seperti keajaiban. Gabriel yang selama ini selalu dingin dan diam.. dia.. sejak kemarin tak henti-hentinya secara mengejutkan menunjukkan sisi lain dari dirinya, yang sungguh terbalik 180 derajat.
“ Adakah yang salah? ” Tanya Gabriel melihat perubahan ekspresi di wajah sivia yang benar-benar terlihat bingung.
“ ha?? Oh gak kok mas.. gak ada yang salah.” Sivia mulai salah tingkah diperhatikan oleh Gabriel yang masih terus menatapnya lekat. Sebuah senyuman terukir di bibir Gabriel.
“Maaf kalau selama ini aku mengacuhkanmu, jujur sudah sejak lama aku selalu membalas sapaanmu, walau hanya dalam hati..” hembusan angin kemudian berhembus diantara mereka, sivia benar-benar semakin melihat Gabriel dalam sosok yang berbeda, kali ini begitu jujur, lembut dan ramah. Entah kenapa pipinya memanas, mungkin kata-kata Gabriel barusan yang telah menghangatkannya.
“Sarapan datang..” suara suster yang bertugas mengantarkan sarapan tiba-tiba mengangetkan mereka. Sivia segera tersenyum ke arah susuter itu, melanjutkan membereskan catatannya dan kemudian pamit keluar kamar setelah memastikan Gabriel telah memulai sarapannya. Gabriel hanya tersenyum melepas sivia kelaur dari ruangan itu. Gadis itu.. sungguh entah sejak kapan dia sudah menempati sebuah ruang di hatinya, dan itulah yang memantapkan hatinya untuk meminta bantuannya. Yah hanya sivia yang mungkin bisa..
****
Perlahan sivia membuka pintu kamar melati, tugasnya sudah selesai dan sekarang dia datang sebagai teman, mungkin sebagai keluarga. Gabriel membalikkan badannya dari menatap jendela, kedatangan sivia siang itu memang sudah lama dia nantikan dan kini ketika sivia sudah datang dan berdiri di pinggir ranjang rumah sakit itu dengan senyumnya Gabriel menyambutnya dengan sebuah senyum hangat yang mungkin mampu membuat sebuah es mencair.
“Maaf mas, tadi saya sholat dan makan dulu..” kata sivia, dia sadar Gabriel menunggunya kali ini.
“gak papa via..”
Diam sejenak, Gabriel tiba-tiba bingung harus memulai semuanya dari mana. Dia bingung bagaimana mengatakannya, bagaimana sebenarnya dia ingin meminta bantuan pada sivia. Detik-detik berlalu secara perlahan, suasana sangat hampa tanpa ada salah seseorang diatara mereka yang mampu melenyapkan kekakuan yang mulai tercipta.
“hm….. maaf mas, sebenarnya apa yang bisa Via bantu?” akhirnya sivia memberanikan diri mencairkan semuanya, tapi masalah baru bagi Gabriel untuk menentukan dari mana dia memulai semuanya. Gabriel menatap mata sivia sejenak, perasaan yang timbul seketika itu juga mulai menumbuhkan keyakinan di hatinya. Gabriel menarik napas sebelum akhirnya memulai semuanya.
“Aku ingin kamu membantuku membuat ibu bahagia.”
>>>Bersambung….<<<<
From Sivia’s Notes 12
Langit malam itu bagai sebuah taman dengan hiasan bintang-bintang yang bertaburan, berkelap-kelip penuh semarak. Sinar bulan pun terpendar dengan indah, memantul dan terbiaskan oleh butir-butir partikel di udara malam yang sejuk. Sungguh sebenarnya setiap hati akan merasa damai menikmati keindahan malam hari, terlebih lagi di sini. Di sini, di kaki gunung, dimana tak ada polusi cahaya oleh lampu-lampu dan juga asap kota. Di sini, dimana tak ada kebisingan dan udara penuh polusi. Di sini, di sebuah teras rumah sederhana dengan suasana seperti surga, dimana kedamaian merasuk dalam tiap hati penghuninya, benar-benar tenang tanpa ada pertengkaran dan kegelisahan.
“Kakak belum tidur?” rahmi perlahan mendekati bu tina yang sedang duduk di teras.
“Belum mi..” jawab bu tina sambil tersenyum menatap adiknya yang sekarang telah duduk di kursi teras plastik di sebelahnya.
“Kenapa? Apa ada yang tidak nyaman?” Tanya rahmi sedikit khawatir, jangan-jangan dia benar-benar tidak bisa memuliakan kakaknya sebagai tamu di rumahnya yang sederhana ini.
“Enggak kok. Kakak malah merasa sangat nyaman.” Sanggah bu tina cepat, dia tak ingin adiknya merasa bersalah apa lagi sedih. Ibu tina paham benar bahwa adik kecilnya ini mudah merasa tak enak dan sedih.
“Terus kenapa kak? Kakak ada masalah? Rahmi merasa kakak sedang mengalami masalah yang cukup berat, sejak kakak bilang akan ke sini jujur rahmi merasakan ada sesuatu. Ada apa kak sebenarnya?”
Bu tina terdiam sejenak, menarik napasnya untuk beberapa saat. Inilah mungkin saatnya dia mulai berbagi, berbagi pada adiknya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti dahulu. Mungkin adiknya dapat membantunya seperti yang dia harapkan dengan datang ke sini.
Bu tina menghelakan napasnya kembali, matanya mulai menatap lembut ke arah adiknya dan bibirnya pun mulai bercerita.
“Jadi, penyakit ginjal gabriel kian parah kak? Dan dia harus terus menerus cuci darah?” Tanya rahmi meyakinkan dirinya. Bu tina hanya mengangguk, menghelakan napasnya dan kemudian tertunduk lemah. Berat rasanya mengatakan semua beban yang menghimpitnya. Penyakit Gabriel.. hanya itu yang sebenarnya menjadi bebannya. Bukan karena dia terbebani dengan Gabriel, justru penyakit itulah bebannya, seandainya dia bisa mengganti posisinya dengan Gabriel dia justru lebih merasa tak ada beban. Tapi Gabriel… dia benar-benar tak bisa melihat Gabriel terus menerus menderita karena penyakit itu, rasa sayangnya sungguh teramat besar kepada anak itu.
“Lalu bagaimana kak?” Tanya rahmi lagi, ingin sekali dia bisa meringankan beban kakaknya itu. Dia tahu kakaknya sangat menyayangi Gabriel, dan itu melebihi rasa sayang kakaknya terhadap dirinya sendiri. Masih terbayang di ingatannya ketika kakaknya dengan penuh cinta merawat Gabriel sejak dia kecil, walau anak itu tak pernah menganggapnya sebagai ibu. Pun ketika ayah Gabriel meninggal dan Gabriel berubah menjadi anak pendiam, kakaknya tidak pergi meninggalkan Gabriel, dia tetap ada.. menjaga Gabriel dan tetap berusaha menjadi ibu yang baik. Dan ketika Gabriel pertama kali jatuh sakit dan didiagnosa memiliki penyakit ginjal yang sudah cukup parah, kakaknyalah yang selalu ada di sampingnya. Tanpa pernah mengeluh dan merasa letih.. tapi kali ini, kakaknya terlihat begitu rapuh.
“Kakak sudah hampir tak punya apa-apa lagi mi. Semuanya sudah tak ada, semuanya untuk membiayai pengobatan Gabriel. Kami sekarang hanya punya rumah peninggalan ayah Gabriel dan itu adalah hak Gabriel. Semua milik kakak sudah kakak jual, dan gaji kakak tidaklah cukup lagi untuk pengobatan Gabriel. Gabriel tidak bisa tanpa cuci darah, dia akan tersiksa. Kakak ingin dia sembuh, dan kakak akan melakukan apa pun untuk itu..” denagn sangat lembut bu tina menceritakan kegundahannya, dia mengambil napas sejenak dan kemudian bertanya.
“Kakak pernah janji kan kepadamu?”
“Janji apa kak?” Tanya rahmi tak mengerti, yah dia tak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Bila kakaknya ingin meminta bantuan biaya, dia tanpa ragu akan berupaya membantu. Tapi janji? Kenapa kakaknya malah bertanya tentang janji?
“Kakak pernah berjanji kelak untuk menjadikan anakmu seperti anak kakak sendiri, dan semua milik kakak akan menjadi miliknya..”
Rahmi terhenyak mendengar kata-kata kakaknya. Itu.. itu janji lama yang tak pernah dia ingat lagi. Sebuah janji yang diucapkan kakaknya bertahun-tahun yang lalu, sebelum kakaknya akhirnya menikah dan memiliki Gabriel. Sebuah janji yang diucapkan kakaknya dengan linangan air mata, janji yang diucapkan setelah operasi itu di lakukan, operasi yang kemudian memastikan bahwa kakaknya tak akan bisa punya anak dari rahimnya sendiri.
Mata rahmi berkilat demi mendengar ucapan kakaknya itu, untuk apa dia mengatakan janji itu. Lagi pula dia telah ikhlas, kakaknya sudah punya anak sendiri. Gabriel..
“Maafkan kakak mi, kakak gak akan bisa menunaikan janji kakak. Kakak gak bisa memberi apa-apa pada Lisa.” Kata bu Tina lemah.
“Kakak ini bicara apa? Kakak punya Gabriel, anak kakak dan bila semuanya untuk Gabriel, Rahmi rela kak dan Lisa pun pasti rela..” kata rahmi mulai menatap kakaknya tak percaya.
“Tapi mi, kakak masih punya sebidang tanah.. dan itu sudah kakak niatkan untuk Lisa. Hanya saja….” Kata-kata bu Tina tercekat. Tak sanggup rasanya dia mengatakannya. Tapi, mungkin inilah yang terbaik.
“kakak,,..” rahmi tak yakin apa yang akan kakaknya katakana, dia benar-benar tak mempermasalahkan janji itu. Melihat kakaknya bingung memikirkan janji yang sudah ia ikhlaskan itu benar-benar membuatnya merasa tak enak.
“Hanya saja kakak butuh uang untuk pengobatan Gabriel. Hanya tanah itu yang kakak punya sekarang,. Kakak… bolehkah meminta kamu lah yang menerima tanah itu. Untuk lisa.. untuk Gabriel.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga, entah harus bagaimana lagi dia menyusun kata agar pesannya bisa sampai dengan baik kepada rahmi, dia harap rahmi dapat mengerti bahwa dia ingin sekali memberikan tanah itu, harta satu-satunya yang dia miliki kepada Lisa, tapi.. tapi dia juga butuh uang untuk Gabriel.
Rahmi mengangguk, dia mengerti maksud kakaknya. Kakaknya ingin dialah yang membeli tanah itu. Kakaknya ingin Lisa dan Gabriel lah yang memiliki tanah itu. Kakaknya tetap ingin janji itu terlaksana. Dan dia.. dia akan berusaha mewujudkannya.
“Kakak… Rahmi akan mengusahakan semunya kak. Rahmi akan berusaha mewujudkan tanah itu sebagai milik Lisa dan juga agar tanah itu bisa membantu Gabriel.” Kata rahmi dengan yakin, perkara uang mereka cukup atau tidak biar nanti urusan dia dan bang tian, yang pasti dia yakin pasti ada jalan asal dia berusaha. Ini juga adalah satu-satunya cara untuk membantu kakaknya yang keras kepala, yang tak pernah mau menerima bantuannya.
“Terima kasih mi. terima kasih..” bu Tina kemudian serta merta memeluk tubuh adiknya itu, semua keraguan dan kegelisahannya hilang sudah. Semua beban mulai terasa ringan, tanpa ia sadari bulir-bulir air mata mengalir di pipinya, hangat pelukan itu benar-benar membuat semuanya lepas.. yah mungkin sebuah batu mulai terangkat dari bahunya untuk sesaat.
***
Kicau burung terdengar merdu bagai alunan sebuah melodi indah menyambut datangnya pagi, bersemangat dan riang. Perlahan sinar mentari mulai menerobos celah-celah jendela, mengintip dan akhirnya berpendar indah membentuk sebuah aurora.
Gabriel menatap hangat sinar mentari itu, perlahan diucapkannya salam paling hangat untuk sang ibu lewat bahasa kalbunya yang mengalun di dalam hatinya yang penuh dengan kerinduan, dan pagi itu dia juga menyelipkan salam untuk seseorang yang kembali masuk ke dalam mimpinya, dan ini untuk kesekian kalinya.
“Karena ibu akan selalu menyayangimu, Gabriel…” kata-kata itu kembali mengisi hatinya. Perlahan dipejamkannya kembali matanya untuk mengingat semua yang terjadi beberapa waktu yang lalu ketika kesehatannya kembali drop, ketika dia bersih keras tak mau di bawa ke rumah sakit, ketika semuanya terasa percuma, ketika harapan hidup tak pernah lagi bersinar di hatinya, dan ketika seseorang itu tetap berjuang dengan semua yang dia miliki hanya untuk Gabriel.. ketika itulah hatinya tiba-tiba merasakan sesuatu yang sungguh menggetarkan, sesuatu yang mengubah semuanya. Perasaan itu, semakin lama semakin kuat… tulus… sungguh sekarang dia sadar bahwa dia.. dia juga sayang ibu.. ibunya, tante tina.
“Tok.. tok..” dua ketukan di pintu itu cukup untuk membuat Gabriel sadar dan kembali membuka matanya untuk melihat sosok yang perlahan masuk dengan senyum manisnya yang khas sambil membawa sebuah papan pencatatnya.
“Pagi mas..” sapa sivia sambil tersenyum.
“Pagi via.” Sivia mengangkat wajahnya dari catatannya, kaget, jelas sekali sivia terlihat kaget. Gabriel tak pernah menjawab sapaannya dengan begitu akrab. Tak pernah sebelum kemarin. Dan semuanya terasa sangat mengagumkan, perubahan itu terasa seperti keajaiban. Gabriel yang selama ini selalu dingin dan diam.. dia.. sejak kemarin tak henti-hentinya secara mengejutkan menunjukkan sisi lain dari dirinya, yang sungguh terbalik 180 derajat.
“ Adakah yang salah? ” Tanya Gabriel melihat perubahan ekspresi di wajah sivia yang benar-benar terlihat bingung.
“ ha?? Oh gak kok mas.. gak ada yang salah.” Sivia mulai salah tingkah diperhatikan oleh Gabriel yang masih terus menatapnya lekat. Sebuah senyuman terukir di bibir Gabriel.
“Maaf kalau selama ini aku mengacuhkanmu, jujur sudah sejak lama aku selalu membalas sapaanmu, walau hanya dalam hati..” hembusan angin kemudian berhembus diantara mereka, sivia benar-benar semakin melihat Gabriel dalam sosok yang berbeda, kali ini begitu jujur, lembut dan ramah. Entah kenapa pipinya memanas, mungkin kata-kata Gabriel barusan yang telah menghangatkannya.
“Sarapan datang..” suara suster yang bertugas mengantarkan sarapan tiba-tiba mengangetkan mereka. Sivia segera tersenyum ke arah susuter itu, melanjutkan membereskan catatannya dan kemudian pamit keluar kamar setelah memastikan Gabriel telah memulai sarapannya. Gabriel hanya tersenyum melepas sivia kelaur dari ruangan itu. Gadis itu.. sungguh entah sejak kapan dia sudah menempati sebuah ruang di hatinya, dan itulah yang memantapkan hatinya untuk meminta bantuannya. Yah hanya sivia yang mungkin bisa..
****
Perlahan sivia membuka pintu kamar melati, tugasnya sudah selesai dan sekarang dia datang sebagai teman, mungkin sebagai keluarga. Gabriel membalikkan badannya dari menatap jendela, kedatangan sivia siang itu memang sudah lama dia nantikan dan kini ketika sivia sudah datang dan berdiri di pinggir ranjang rumah sakit itu dengan senyumnya Gabriel menyambutnya dengan sebuah senyum hangat yang mungkin mampu membuat sebuah es mencair.
“Maaf mas, tadi saya sholat dan makan dulu..” kata sivia, dia sadar Gabriel menunggunya kali ini.
“gak papa via..”
Diam sejenak, Gabriel tiba-tiba bingung harus memulai semuanya dari mana. Dia bingung bagaimana mengatakannya, bagaimana sebenarnya dia ingin meminta bantuan pada sivia. Detik-detik berlalu secara perlahan, suasana sangat hampa tanpa ada salah seseorang diatara mereka yang mampu melenyapkan kekakuan yang mulai tercipta.
“hm….. maaf mas, sebenarnya apa yang bisa Via bantu?” akhirnya sivia memberanikan diri mencairkan semuanya, tapi masalah baru bagi Gabriel untuk menentukan dari mana dia memulai semuanya. Gabriel menatap mata sivia sejenak, perasaan yang timbul seketika itu juga mulai menumbuhkan keyakinan di hatinya. Gabriel menarik napas sebelum akhirnya memulai semuanya.
“Aku ingin kamu membantuku membuat ibu bahagia.”
>>>Bersambung….<<<<
Langganan:
Postingan (Atom)