Hai all…. Ini lanjutannya, maaf yah pendek, semoga part selanjutnya bisa lebih panjang. Enjoy….
From Sivia’s Notes … 10
Desiran angin pagi itu berhasil mengoyang-goyangkan rambut Gabriel yang jatuh lemas karena kepalanya tertunduk, dia sudah kehabisan tenanganya sekarang. Setelah berteriak dan meluapkan semua kekesalannya dia sekarang terduduk dengan posisi kepala menunduk di tengah taman yang sepi itu. Dari arah timur, Matahari mulai menebarkan sinar hangatnya, namun tak cukup membuat hangat batin Gabriel,.. dia berubah menjadi sosok sedingin es sekarang. Matanya hanya memancarkan sinar redup dan sendu. Perlahan dia bangkit, masih dalam diam dia berjalan kembali menuju motornya..
Gabriel baru saja hendak kembali ke motornya ketika handphonenya berdering, entah kenapa.. sepertinya tiba-tiba batinnya merasakan sebuah perasaan yang sangat mengganggu. Kemudian perasaan itu memaksanya untuk menerima panggilan di handphonenya, meski hatinya sendiri lebih memilih untuk menonaktivkan handphone itu. Untuk sejenak gabriel bimbang, jarinya ragu untuk memilih dua buah tombol yang saling bersebrangan itu terlebih ketika dia melihat nama yang tertera di layar handphonenya.. tapi akhirnya dia memutuskan menekan salah satu tombol itu lalu mendekatkan handphone itu ke telinganya.
“Gabriel... ayah.......“ sebuah suara dengan penuh isak tangis mulai berbicara.
Tak begitu jelas kata-kata yang gabriel tangkap, tapi yang pasti hatinya hancur seketika itu juga. Dia tak tahu apa-apa lagi, yang dia tahu dia hanya harus memacu motornya secepatnya kembali ke rumah.
Gabriel diam terpaku, tubuhnya lemah seketika, tulang-tulangnya terasa melepuh, rapuh dan tak mampu menahan tubuhnya, wajahnya pucat dan dia hanya bisa diam terpaku ketika menatap seseorang yang pagi tadi menepisnya itu kini terbaring kaku, seseorang yang sangat dia sayangi meski sering bertentangan dengannya itu kini tak berdaya lagi, seseorang... seseorang yang menjadi satu-satunya orang tua kandungnya yang masih hidup itu kini...... kini pun telah meninggalkan dirinya sendirian.
Gabriel masih diam, sinar di matanya yang sejak tadi redup dan sendu sekarang bahkan tak tersisa lagi. Dia hancur, dia menangis sejadi-jadinya ketika tanah itu ditutup dan memisahkan dirinya dengan sang ayah untuk selama-lamanya, dan sampai semua itu terjadi dia tak sempat mengucapkan sebuah kata maaf... dan sepertinya dia memang tak akan mengucapkan satu kata lagi karena semenjak itulah dia hanya hidup dalam dunianya, dalam diam..
*****
Malam telah pekat, bintang-bintang sudah membentuk ribuan formasi indah di langit yang gelap, bahkan bulan pun sudah muncul untuk menggantikan sang mentari yang telah selesai tugasnya. Suasana duka masih meliputi rumah ini, meski tadi puluhan orang datang untuk memberikan do’a dan berusaha memberikan kekuatan agar duka tak perlu berlarut-larut.
Untuk kesekian kalinya pintu kamar gabriel di ketuk, tapi Gabriel sama sekali tak perduli. Dia hanya diam, terduduk lemah di samping ranjangnya dengan kepala tertunduk. Perasaan aneh itu tiba-tiba kembali menyerangnya, dan sungguh menyiksa batinnya. Dia sama sekali tak pernah membayangkan semuanya akan terjadi, dia masih belum bisa menerimanya..
Pertama ibunya… lalu sekarang ayahnya… mengapa semua orang yang sangat dia sayangi itu selalu diambil darinya? Apa salahnya? Ataukah benar dia harus menyalahkan wanita yang masih terus mengetuk pintu kamarnya itu? Menyalahkannya seperti yang selama ini dia lakukan. Tidak… mungkin memang dirinyalah yang paling bersalah. Ayah …. Ayahnya marah karena dirinya dan penyakit jantungnya pasti kambuh juga karena dirinya. Sedangkan ibunya, ibunya kecelakaan… bukankah waktu itu dia juga yang menyebabkannya. Meski selama ini dia terus menyalahkan wanita itu. Wanita yang menjadi istri ayahnya sekarang, tante tina, tante yang adalah sahabat ibunya sekaligus yang menyetir ketika kecelakaan itu terjadi. Tapi, bukankah dia yang memaksa ibunya pulang hari itu, padahal hari itu ibu masih ada pekerjaan di luar kota bersama tante tina, dan tante tina terpaksa harus ngebut hingga kecelakaan itu terjadi.
Jadi… semuanya sebenarnya adalah kesalahannya,.. kesalahan dirinya… kesalahannyalah ayah dan ibunya tiada sekarang. Semua adalah kesalaannya…
“Gabriel.... buka pintunya sayang, seharian ini kamu belum makan..“ suara lembut itu, meski terdengar serak sehabis menangis namun suara itu menunjukkan betapa pemilik suara itu sungguh berusaha keras menahan semua perih di batinnya.
Tak ada jawaban, gabriel masih diam. Matanya hanya menatap kosong karpet yang terbentang di depannya. Pikirannya kacau.. perasaan bersalah itu kembali menyiksa batinnya.
Wanita di balik pintu itu hanya bisa menghelakan napasnya sambil sesekali menahan isak tangis yang seolah-olah akan pecah lagi.
“Iel.. ayah gak akan senang kalau kamu begini terus. Kamu harus makan...“
Tak ada jawaban, hanya sebuah bantingan benda keras yang terdengar dari dalam kamar itu. gabriel kembali meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk sekedar melampiaskan kekesalannya, dia masih belum bisa menerima semuanya.. belum bisa menerimanya... terutama karena ayahnya pergi ketika dia tak ada di sisinya dan terlebih lagi dialah yang membuat ayahnya pergi.. dan dia juga yang menyebabkan ibunya pergi... semua itu kesalahannya. Matanya kemudian menatap datar pada pecahan-pecahan kaca dari sebuah pigura gambar dirinya yang dia lemparkan tadi.
“Gabriel.... ibu mohon jangan hancurkan apapun lagi. Ibu mohon buka pintunya gabriel...“ airmatanya mulai mengalir, dia takut gabriel berbuat lebih nekat. Segera dipanggilnya mang ujang untuk mendobrak pintu kamar gabriel.
Benar saja gabriel hampir saja mengoreskan pecahan kaca pada pergelangan tangannya ketika pintu berhasil di buka. Tangan wanita itu segera menepis pecahan kaca dari tangan gabriel.
“PLAAK..!“ sebuah tamparan keras mendarat di pipi gabriel.
“Apa kamu sudah gila? Kamu boleh saja marah pada ibu! Marah pada diri kamu sendiri, tapi jangan pernah kamu berusaha membunuh diri kamu sendiri gabriel!! Kalau kamu marah, kamu boleh bentak ibu, kamu bahkan boleh menampar ibu! Ibu rela... asal kamu jangan pernah berfikir untuk menyakiti diri kamu sendiri!“ bibir itu bergetar ketika mengucapkan kata-kata barusan, tapi keyakinan dalam tiap kata itu tak tergetarkan, itu memang suara hatinya.. dan dia tidak berbohong dengan kata-kata itu.
Gabriel hanya diam, tangannya masih kaku.. tak ada reaksi, meski pasti dia masih bisa mendengarkan kata-kata barusan.
“Kamu berhak menyalakan ibu atas semua yang terjadi.... tapi jangan pernah kamu menyakiti dirimu gabriel, sungguh ibu hanya meminta itu. tolong ibu untuk tetap menjagamu seperti pesan ibumu..“
Dua buah tangan itu kemudian memeluknya erat, membiarkannya sejenak kemudian merasakan sebuah kehangatan yang sudah lama tak dia rasakan, membiarkan dia sejenak merasakan bahwa tak ada yang menyalahkannya atas semua yang terjadi. Namun, gabriel diam tanpa membalas sedikitpun pelukan hangat itu..
***** bersambung*****
_Yuliana Indriani_
Koment please.... saran dan kritik juga ditunggu.. please,, thanks udah mau bacanya. ^_^
Senin, 21 Juni 2010
Minggu, 20 Juni 2010
From Sivia's Notes 9
Sorry kalau lama ngelanjutinnya…. Tapi seperti janji saya kepada diri saya sendiri. Saya akan tetap berusaha menyelesaikan cerita ini. Karena sebuah cerita tak akan bisa diambil hikmahnya bila belum selesai, lengkap dan sempurnya… so, enjoy this story!! Kalo lupa baca lagi aja yah part sebelumnya.. ^_^
From Sivia’s Notes … 9
Mas Gabriel menatap ke arahku, mata itu... dua bola mata itu sendu seperti biasanya namun senyum yang terukir di bibirnya membuat aku heran. Kenapa dia tersenyum?
“Via,.. Aku ingin minta tolong….” sebuah kalimat yang berhasil membuat dahi ku berkerut itu keluar langsung dari bibirnya yang tengah tersenyum kepadaku.
“Mas Gabriel mau minta tolong apa? Kalau via bisa bantu akan via bantu. ” jawabku. Ku lihat dia kembali tersenyum, matanya mulai menatap jauh ke depan ke arah matahari yang kian merendah dan bait-bait masalalunya yang mulai meluncur dari bibirnya perlahan menyelimutiku, membawa aku ke dalam perasaan yang dia rasakan.. membawaku melihat kembali cerita hidupnya.
**yuli**
Deru suara motor Tiger yang kencang itu tiba-tiba berhenti. Seorang pemuda turun dari motor yang dia parkir di depan rumah yang cukup mewah. Pemuda itu segera membuka pintu rumah dengan kunci yang memang sudah dia siapkan dan kemudian berjalan santai masuk ke dalam rumah yang sudah gelap itu.
Tiba-tiba sinar putih menyebar dari sebuah lampu yang tiba-tiba menyala. Seorang bapak menatap tajam ke arah pemuda itu.
“Gabriel!!! Kamu dari mana saja?! Pulang kuliah bukannya langsung ke rumah, malah keluyuran! Ini sudah tengah malam!! Mau jadi apa kamu?!“ bentak bapak itu. Di sampingnya sang istri sibuk mengusap-usap dadanya untuk sekedar sedikit menentramkan amarahnya.
Langkah gabriel terhenti sesaat ketika suara itu menggema. Namun, kemudian tanpa menoleh dia kembali melangkah menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
“Gabriel!!! Dasar anak kurang ajar!“
“Sabar yah... mungkin gabriel sedang capek. Biarkan saja dia istirahat dulu... kita bicarakan saja besok.“ kembali sang istri mencoba mencoba menenangkan suaminya yang mulai terhuyung. Penyakit jantung suaminya itu bisa kambuh kapan saja terutama bila terus-menerus marah dan stres seperti ini. Dengan sabar sang istri mengajak suaminya itu untuk kembali ke kamar.
Gabriel membating pintu kamarnya. Sebagian batinnya tak terima dengan bentakkan yang dia terima tadi, dia lalu menghempaskan tubuhnya ke sebuah kasur dengan badcover hitam-putih seperti papan catur di kamarnya yang nyaman itu. Diliriknya sebuah jam weker yang ada di buffet di samping kasurnya. Ini memang sudah larut malam, angka di jam itu menunjukkan pukul 00.40. Tapi apa pedulinya.. Dia berhak pulang jam berapa pun, ini adalah rumahnya. Gabriel bangkit dan duduk di kasurnya, jemari tangannya mulai mengacak-acak bebas rambut yang memang dia biarkan sedikit panjang.
“Aarrrrrgh…!!!” erangnya. Dia benar-benar pusing sekarang. Semua yang terjadi hari ini sangat mengesalkan. Hari ini... entah mengingatnya pun dia enggan, dan tadi melihat wajah ayahnya bersama wanita itu sungguh membuat gabriel semakin membenci hari ini!
“Semuanya karena wanita itu!“ batin gabriel sambil kembali mengacak-acak rambutnya. Mata gabriel kemudian menatap lurus ke sebuah foto yang ada di samping jam wekernya. Sebuah foto wanita yang amat dia cintai.
“Ibu, kenapa mesti dia yang sekarang ada di sini ? gabriel hanya mau ibu, bukan dia! dia hanya membawa petaka di rumah ini. Sekarang bahkan iel dan ayah tak pernah bisa akur! Iel hanya mau ibu...“ gabriel kemudian mengambil bingkai foto itu, memeluknya erat. Dia seperti berubah menjadi anak kecil kembali, dia tersenyum ke arah bingkai foto itu dan kemudian membawanya tidur.
**yuli**
Sinar matahari mengetuk-ngetuk jendela kamar gabriel, sebagian dari sinar itu bisa menerobos masuk selalui sela-sela tirai yang terbuka dan kemudian berhasil jatuh ke wajah gabriel yang masih terlelap. Tapi gabriel tetap saja tidur. Di tangannya, sebuah bingkai foto masih terjepit dalam pelukannya.
“Tok...tok..tok... gabriel.. bangun sayang.. sudah siang.. bukannya kamu ada kuliah?“ sebuah suara mulai menggelitik indra pendengaran gabriel. Dia sedikit menggeliatkan tubuhnya, namun tetap enggan untuk sekedar membuka matanya.
“Iel... bangun sayang...“ lagi-lagi suara itu mengganggu tidurnya.
“BERISIK!!!! Pergi jauh dari kamar gue! Gue gak suka!!!“ teriak gabriel. Seseorang di balik pintu itu terdiam seketika, tangannya yang tadinya hendak kembali mengetok pintu kamar itu menjadi lemas seketika. Tubuhnya dengan terpaksa diam, berdiri dengan kaku. Namun, dia menarik napas sejenak dan kemudian berusaha mengukir sebuah senyuman di wajahnya.
“Kalau begitu cepat bangun dan sarapan yah.. jangan sampai telat..“ kata-kata itu terucap lembut dari bibirnya. Tapi sebuah teriakkan kembali menjawab suara lembutnya itu.
“Gue udah gede!! Gak usah peduliin gue! “ wanita itu hanya kembali hanya bisa tetap berusaha mengukir senyuman tipis di wajahnya dan perlahan berjalan meninggalkan kamar itu.
Beberapa saat kemudian, Gabriel dengan malas bangun dari tidurnya, diliriknya sekilas jam weker yang ada di sampingnya. Angka yang tertera di sana adalah pukul 07.23.
“SHIT!!!!” Gabriel memukul bantalnya.. ini terlalu pagi untuknya, harusnya dia masih bisa menikmati mimpinya bersama sang ibu. Secara tak sengaja mata Gabriel kemudian menatap foto yang ada di atas tempat tidurnya itu terjatuh ketika dia menggeliatkan badannya tadi. Segera diraihnya bingkai foto itu. Gabriel tersenyum menatap potret wajah ibunya yang juga sedang tersenyum .
Setelah selesai mandi, dengan buru-buru Gabriel menyambar jaket kulit juga tas ranselnya dan kemudian berjalan santai keluar dari kamarnya sambil memegang erat kunci motornya. Dari meja makan, dua pasang mata mengamati Gabriel yang sedang menuruni tangga. Namun, dengan cuek Gabriel melewati meja makan itu dan menuju pintu depan. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika suara berat yang sempat membentaknya semalam itu memanggil namanya.
“Gabriel!”
Gabriel menoleh sesaat, mengamati ayahnya yang duduk di meja makan ditemani istrinya tercinta. Bibir Gabriel kemudian membentuk sebuah senyum sinis ketika matanya beradu dengan pandangan wanita yang sedang menemani ayahnya itu.
“Gabriel, kita harus bicara!” kembali suara berat itu memecahkan kesunyian yang ada. Terlihat sang istri sedikit kaget dan kemudian menunduk. Tak tahan mungkin dengan semua ini, bisa ditebak setelah ini aka nada adu mulut lagi… entah untuk yang keberapa kalinya.
“Aku sibuk.” Jawab Gabriel dingin. Ayahnya terlihat geleng-geleng kepala dan menghelakan napas guna menahan amarahnya.
“Kamu gak bisa seperti ini terus! kelakuan kamu itu semakin membuat ayah marah! Kalau kamu begini terus kesabaran ayah bisa habis!!“
“Kesabaran ayah? Apa ayah punya kesabaran??“ gabriel sedikit tertawa kecil. Sikapnya itu seolah benar-benar sedang mengejek ayahnya.
“Kamu ini!!!“ tiba-tiba dada ayahnya terasa sangat sakit. Sebuah tombak seolah ditancapkan tepat di jantungnya. Dia berusaha menekan dadanya untuk menahan sakitnya itu. Istrinya sudah mulai panik dan mengusap-usap dadanya.
“Bibi... ambilin obat tuan yah di laci.. cepat bi.. !! “ perintah sang istri.
Gabriel sedikit tersentak melihat ayahnya yang terlihat sangat lemah dan kesakitan, segera dia mendekat ke arah ayahnya. Namun sebuah tepisan dari sang ayah tiba-tiba menyambutnya. Semuanya kaget, termasuk istri ayahnya, wanita yang sekarang sedang memapah ayahnya untuk kembali ke kamar itu. Gabriel terdiam sesaat, namun sedetik kemudian dengan tergesa-gesa berjalan meninggalkan ruang makan itu. Sepasang mata menatap iba kepadanya, namun tak ada kata-kata yang keluar dari pemilik mata itu.
Gabriel kemudian meninggalkan rumahnya, dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Helm fullfacenya membuat semua orang tak tau bahwa sebuah bulir air mata jatuh di pipinya. Gabriel tak peduli.. dia terus memacu sepeda motornya hingga akhirnya menghentikan laju motornya di sebuah taman yang cukup sepi dan kemudian cepat-cepat membuka helmnya, dia berlari ke tengah taman dan kemudian berteriak sekencang yang dia bisa. Semua rasa yang ada di dalam batinnya selama ini mendadak berontak untuk segera keluar saat itu juga.
“AAAAArrrrrrghhhh...........!!!!!!!!!“
“Bahkan sekarang ayah tak mengizinkan aku membantu ayah..! Ayah lebih memilih wanita itu..!!!! Semuanya gara-gara dia…!! Dia !!!“
Gabriel kembali berteriak sekencang-kencangnya, ingin rasaanya dia meluapkan semua kemarahannya itu kepada ayahnya dan kepada wanita yang menjadi pendamping ayahnya sekarang tapi tak bisa, sesuatu selalu menahannya. Dia hanya bisa menjadi seorang anak yang pemberontak, anak yang nakal dan tak pernah menurut tanpa pernah memberi tahu sebab atas semua perilakunya itu. Dalam hatinya, Dia hanya benci satu orang. Orang yang membuat kehidupannya menjadi kacau seperti sekarang. Dan orang itu adalah wanita itu, wanita yang mendampingi ayahnya sekarana, istri dari ayahnya sekarang yang seharusnya dia panggil IBU….
**** bersambung****
Hua…. Maaf yah di-cut di sini…
koment please,..
Dengan segala keterbatasan, akhirnya saya kembali mencoba menulis. Jadi mohon diingatkan kalau saya banyak melakukan kesalahan yang dulu-dulu pernah saya lakukan, atau juga kesalahan baru dalam penulisan, tolong juga sarannya agar bisa menulis lebik baik.
Thanks… di tunggu komentnya yah. love you all…. ^_^
Semoga masih pada setia nungguin lanjutannya, karena ceritanya belum selesai!!..
_Yuliana indriani_
From Sivia’s Notes … 9
Mas Gabriel menatap ke arahku, mata itu... dua bola mata itu sendu seperti biasanya namun senyum yang terukir di bibirnya membuat aku heran. Kenapa dia tersenyum?
“Via,.. Aku ingin minta tolong….” sebuah kalimat yang berhasil membuat dahi ku berkerut itu keluar langsung dari bibirnya yang tengah tersenyum kepadaku.
“Mas Gabriel mau minta tolong apa? Kalau via bisa bantu akan via bantu. ” jawabku. Ku lihat dia kembali tersenyum, matanya mulai menatap jauh ke depan ke arah matahari yang kian merendah dan bait-bait masalalunya yang mulai meluncur dari bibirnya perlahan menyelimutiku, membawa aku ke dalam perasaan yang dia rasakan.. membawaku melihat kembali cerita hidupnya.
**yuli**
Deru suara motor Tiger yang kencang itu tiba-tiba berhenti. Seorang pemuda turun dari motor yang dia parkir di depan rumah yang cukup mewah. Pemuda itu segera membuka pintu rumah dengan kunci yang memang sudah dia siapkan dan kemudian berjalan santai masuk ke dalam rumah yang sudah gelap itu.
Tiba-tiba sinar putih menyebar dari sebuah lampu yang tiba-tiba menyala. Seorang bapak menatap tajam ke arah pemuda itu.
“Gabriel!!! Kamu dari mana saja?! Pulang kuliah bukannya langsung ke rumah, malah keluyuran! Ini sudah tengah malam!! Mau jadi apa kamu?!“ bentak bapak itu. Di sampingnya sang istri sibuk mengusap-usap dadanya untuk sekedar sedikit menentramkan amarahnya.
Langkah gabriel terhenti sesaat ketika suara itu menggema. Namun, kemudian tanpa menoleh dia kembali melangkah menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
“Gabriel!!! Dasar anak kurang ajar!“
“Sabar yah... mungkin gabriel sedang capek. Biarkan saja dia istirahat dulu... kita bicarakan saja besok.“ kembali sang istri mencoba mencoba menenangkan suaminya yang mulai terhuyung. Penyakit jantung suaminya itu bisa kambuh kapan saja terutama bila terus-menerus marah dan stres seperti ini. Dengan sabar sang istri mengajak suaminya itu untuk kembali ke kamar.
Gabriel membating pintu kamarnya. Sebagian batinnya tak terima dengan bentakkan yang dia terima tadi, dia lalu menghempaskan tubuhnya ke sebuah kasur dengan badcover hitam-putih seperti papan catur di kamarnya yang nyaman itu. Diliriknya sebuah jam weker yang ada di buffet di samping kasurnya. Ini memang sudah larut malam, angka di jam itu menunjukkan pukul 00.40. Tapi apa pedulinya.. Dia berhak pulang jam berapa pun, ini adalah rumahnya. Gabriel bangkit dan duduk di kasurnya, jemari tangannya mulai mengacak-acak bebas rambut yang memang dia biarkan sedikit panjang.
“Aarrrrrgh…!!!” erangnya. Dia benar-benar pusing sekarang. Semua yang terjadi hari ini sangat mengesalkan. Hari ini... entah mengingatnya pun dia enggan, dan tadi melihat wajah ayahnya bersama wanita itu sungguh membuat gabriel semakin membenci hari ini!
“Semuanya karena wanita itu!“ batin gabriel sambil kembali mengacak-acak rambutnya. Mata gabriel kemudian menatap lurus ke sebuah foto yang ada di samping jam wekernya. Sebuah foto wanita yang amat dia cintai.
“Ibu, kenapa mesti dia yang sekarang ada di sini ? gabriel hanya mau ibu, bukan dia! dia hanya membawa petaka di rumah ini. Sekarang bahkan iel dan ayah tak pernah bisa akur! Iel hanya mau ibu...“ gabriel kemudian mengambil bingkai foto itu, memeluknya erat. Dia seperti berubah menjadi anak kecil kembali, dia tersenyum ke arah bingkai foto itu dan kemudian membawanya tidur.
**yuli**
Sinar matahari mengetuk-ngetuk jendela kamar gabriel, sebagian dari sinar itu bisa menerobos masuk selalui sela-sela tirai yang terbuka dan kemudian berhasil jatuh ke wajah gabriel yang masih terlelap. Tapi gabriel tetap saja tidur. Di tangannya, sebuah bingkai foto masih terjepit dalam pelukannya.
“Tok...tok..tok... gabriel.. bangun sayang.. sudah siang.. bukannya kamu ada kuliah?“ sebuah suara mulai menggelitik indra pendengaran gabriel. Dia sedikit menggeliatkan tubuhnya, namun tetap enggan untuk sekedar membuka matanya.
“Iel... bangun sayang...“ lagi-lagi suara itu mengganggu tidurnya.
“BERISIK!!!! Pergi jauh dari kamar gue! Gue gak suka!!!“ teriak gabriel. Seseorang di balik pintu itu terdiam seketika, tangannya yang tadinya hendak kembali mengetok pintu kamar itu menjadi lemas seketika. Tubuhnya dengan terpaksa diam, berdiri dengan kaku. Namun, dia menarik napas sejenak dan kemudian berusaha mengukir sebuah senyuman di wajahnya.
“Kalau begitu cepat bangun dan sarapan yah.. jangan sampai telat..“ kata-kata itu terucap lembut dari bibirnya. Tapi sebuah teriakkan kembali menjawab suara lembutnya itu.
“Gue udah gede!! Gak usah peduliin gue! “ wanita itu hanya kembali hanya bisa tetap berusaha mengukir senyuman tipis di wajahnya dan perlahan berjalan meninggalkan kamar itu.
Beberapa saat kemudian, Gabriel dengan malas bangun dari tidurnya, diliriknya sekilas jam weker yang ada di sampingnya. Angka yang tertera di sana adalah pukul 07.23.
“SHIT!!!!” Gabriel memukul bantalnya.. ini terlalu pagi untuknya, harusnya dia masih bisa menikmati mimpinya bersama sang ibu. Secara tak sengaja mata Gabriel kemudian menatap foto yang ada di atas tempat tidurnya itu terjatuh ketika dia menggeliatkan badannya tadi. Segera diraihnya bingkai foto itu. Gabriel tersenyum menatap potret wajah ibunya yang juga sedang tersenyum .
Setelah selesai mandi, dengan buru-buru Gabriel menyambar jaket kulit juga tas ranselnya dan kemudian berjalan santai keluar dari kamarnya sambil memegang erat kunci motornya. Dari meja makan, dua pasang mata mengamati Gabriel yang sedang menuruni tangga. Namun, dengan cuek Gabriel melewati meja makan itu dan menuju pintu depan. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika suara berat yang sempat membentaknya semalam itu memanggil namanya.
“Gabriel!”
Gabriel menoleh sesaat, mengamati ayahnya yang duduk di meja makan ditemani istrinya tercinta. Bibir Gabriel kemudian membentuk sebuah senyum sinis ketika matanya beradu dengan pandangan wanita yang sedang menemani ayahnya itu.
“Gabriel, kita harus bicara!” kembali suara berat itu memecahkan kesunyian yang ada. Terlihat sang istri sedikit kaget dan kemudian menunduk. Tak tahan mungkin dengan semua ini, bisa ditebak setelah ini aka nada adu mulut lagi… entah untuk yang keberapa kalinya.
“Aku sibuk.” Jawab Gabriel dingin. Ayahnya terlihat geleng-geleng kepala dan menghelakan napas guna menahan amarahnya.
“Kamu gak bisa seperti ini terus! kelakuan kamu itu semakin membuat ayah marah! Kalau kamu begini terus kesabaran ayah bisa habis!!“
“Kesabaran ayah? Apa ayah punya kesabaran??“ gabriel sedikit tertawa kecil. Sikapnya itu seolah benar-benar sedang mengejek ayahnya.
“Kamu ini!!!“ tiba-tiba dada ayahnya terasa sangat sakit. Sebuah tombak seolah ditancapkan tepat di jantungnya. Dia berusaha menekan dadanya untuk menahan sakitnya itu. Istrinya sudah mulai panik dan mengusap-usap dadanya.
“Bibi... ambilin obat tuan yah di laci.. cepat bi.. !! “ perintah sang istri.
Gabriel sedikit tersentak melihat ayahnya yang terlihat sangat lemah dan kesakitan, segera dia mendekat ke arah ayahnya. Namun sebuah tepisan dari sang ayah tiba-tiba menyambutnya. Semuanya kaget, termasuk istri ayahnya, wanita yang sekarang sedang memapah ayahnya untuk kembali ke kamar itu. Gabriel terdiam sesaat, namun sedetik kemudian dengan tergesa-gesa berjalan meninggalkan ruang makan itu. Sepasang mata menatap iba kepadanya, namun tak ada kata-kata yang keluar dari pemilik mata itu.
Gabriel kemudian meninggalkan rumahnya, dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Helm fullfacenya membuat semua orang tak tau bahwa sebuah bulir air mata jatuh di pipinya. Gabriel tak peduli.. dia terus memacu sepeda motornya hingga akhirnya menghentikan laju motornya di sebuah taman yang cukup sepi dan kemudian cepat-cepat membuka helmnya, dia berlari ke tengah taman dan kemudian berteriak sekencang yang dia bisa. Semua rasa yang ada di dalam batinnya selama ini mendadak berontak untuk segera keluar saat itu juga.
“AAAAArrrrrrghhhh...........!!!!!!!!!“
“Bahkan sekarang ayah tak mengizinkan aku membantu ayah..! Ayah lebih memilih wanita itu..!!!! Semuanya gara-gara dia…!! Dia !!!“
Gabriel kembali berteriak sekencang-kencangnya, ingin rasaanya dia meluapkan semua kemarahannya itu kepada ayahnya dan kepada wanita yang menjadi pendamping ayahnya sekarang tapi tak bisa, sesuatu selalu menahannya. Dia hanya bisa menjadi seorang anak yang pemberontak, anak yang nakal dan tak pernah menurut tanpa pernah memberi tahu sebab atas semua perilakunya itu. Dalam hatinya, Dia hanya benci satu orang. Orang yang membuat kehidupannya menjadi kacau seperti sekarang. Dan orang itu adalah wanita itu, wanita yang mendampingi ayahnya sekarana, istri dari ayahnya sekarang yang seharusnya dia panggil IBU….
**** bersambung****
Hua…. Maaf yah di-cut di sini…
koment please,..
Dengan segala keterbatasan, akhirnya saya kembali mencoba menulis. Jadi mohon diingatkan kalau saya banyak melakukan kesalahan yang dulu-dulu pernah saya lakukan, atau juga kesalahan baru dalam penulisan, tolong juga sarannya agar bisa menulis lebik baik.
Thanks… di tunggu komentnya yah. love you all…. ^_^
Semoga masih pada setia nungguin lanjutannya, karena ceritanya belum selesai!!..
_Yuliana indriani_
Senin, 07 Juni 2010
From Sivia's Notes 8
Hai all... sorry lama ngepost part 8-nya, maaf.... tapi udah tau kan kalo semuanya karena UAS. So, forgive me please… Now please enjoy this story, hope all of you love this story.
From Sivia’s Notes ... 8
Aku masih terdiam di tempatku, dua buah bola mata bening itu masih menatapku, masih bersinar, sejuk dan menentramkan batinku. Sungguh dimensi waktu terasa berhenti saat ini juga, hanya ada aku dan pemilik dua buah bola mata bening itu, semilir angin pun tak sanggup membuat dimensi berjalan di sekitarku. Semuanya hanya diam dan terpaku… dan bahkan bibirku tak mampu bergerak meski untuk satu milimeter sekalipun.
“Kenapa matamu sembab? Menangis semalaman?“ suara itu kembali terdengar dan membuyarkan semuanya, dimensi waktu perlahan kembali berjalan dan mulai berlari di sekitarku. Dua buah bola mata bening itu juga telah menghilang dari pandanganku, sepertinya sang pemilik sudah kembali mengalihkan pandangannya dari diriku yang masih menatap ke arahnya dalam diam.
“Eng... enggak kok mas. Mungkin cuma karena kekurangan tidur.“ Jawabku ragu-ragu sambil sedikit menyeka mataku, begitu sembabkah sampai semua orang bisa tahu bahwa aku menangis semalaman?.
Dia kembali diam, sepertinya sudah cukup puas dengan jawabanku. Aku tersenyum ke arahnya, sedikit mengangguk memberi syarat bahawa aku akan pamit keluar. Dia masih diam, tak menatapku lagi. Aku melangkahkan kakiku pasti keluar dari kamar melati itu, perlahan ku tutup pintu kamar itu dan semuanya selesai. Dan entah kenapa pertahananku luluh seketika... Sebuah bulir air mata jatuh dari mataku.. Segera ku hapus air mata itu agar tak ada seorangpun yang melihatnya.
*****
Matahari bersinar terlalu cerah hari ini, belum tengah hari saja suasana sudah sangat panas. Aku dan ify sedang duduk di kantin ketika waktu istirahat, mencoba menghilangkan dahaga dengan segelas es jeruk yang memang menjadi minuman faforit kami berdua.
“Via, udah mau cerita?“ Tanya ify sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya bisa kembali mengaduk-ngaduk es jeruk yang ada dihadapanku sambil menggeleng pelan. Ify menghelakan napasnya, sedikit kecewa sepertinya dengar tanggapan yang kuberikan.
“Maaf fy, tapi memang tak ada yang perlu diceritakan saat ini..” Aku mencoba menatapnya dan tersenyum ke arahnya. Dia hanya kembali menghelakan napasnya dan kemudian menikmati es jeruknya. Aku diam, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang sangat ku kenal tengah berjalan ke arah kantin. Sosok itu tersenyum ke arahku dan kemudian bergegas menuju mejaku dan ify.
“Via. Ibu boleh bicara sebentar? ” tanya ibu mas gabriel ke padaku. Aku mengangguk dan pamit pada ify, kemudian mengikuti langkah kaki ibu mas Gabriel yang sedikit menjauh dari meja kami tadi.
“Via, ibu mau minta tolong.. ” ibu mas gabriel mulai berbicara, aku mengangguk mantap. “Iya bu, kalau via bisa bantu akan via bantu...“
“Begini, ibu mau minta tolong agar kamu menjaga gabriel untuk beberapa hari ini. Ibu ada urusan ke luar kota sehingga tak bisa menjaganya. Lagi pula sepertinya Gabriel hanya bisa nyaman bersama kamu.“ Aku sedikit tersentak, sejumlah pertanyaan tiba-tiba hadir dibenakku. Apa maksudnya menjaga mas gabriel untuk beberapa hari ini? Urusan apa sebenarnya yang bisa membuat ibu mas gabriel terpaksa meninggalkan mas gabriel meski hanya bebarapa hari? Dan apa maksudnya mas gabriel hanya bisa nyaman bersamaku? Tapi... ah sudahlah, tak ada salahnya aku menolong, lagi pula hanya beberapa hari.. tak mungkin lama.
“Baik bu, via akan menjaga mas gabriel.“ Ibu mas gabriel tersenyum mendengar jawabanku.
“Terima kasih via. Kamu memang baik. Ibu pamit yah..“ ibu mas gabriel memelukku sejenak sebelum akhirnya melangkah pergi. Aku hanya mengangguk dan kemudian menatap kepergian ibu mas gabriel. Sosok itu kembali mengingatkanku pada ibuku.
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju mejaku dan ify tadi. Ify melihat ke arahku sambil mendelik sepertinya ingin tahu apa yang tadi kami bicarakan.
“Kenapa via?“ tanya ify, aku tersenyum ke arahnya dan menceritakan apa yang tadi disampaikan oleh ibu mas gabriel.
“Jadi untuk beberapa hari ini kamu yang akan menjaganya?“ Aku mengangguk mantap dan ify hanya tersenyum ke arahku.
*****
Jemariku perlahan membuka halaman selanjutnya dari diary yang ku pegang. Baris-baris kata kembali mulai menyapaku, huruf demi huruf yang terukir di kertas itu pun mulai menari-nari dihadapanku, dan kemudian bagai sihir semuanya kembali membawaku menyususri lorong waktu dan kemudian membawaku ke masalalu..
*****
Harum dedaunan pohon cemara di sore hari segera menyambutku dan mas gabriel ketika kami sampai di taman sore itu. Mas gabriel sengaja memintaku untuk mengantarnya ke taman sebelum kembali ke kamarnya sehabis menjalani cuci darah. Di tangannya MP4 playerku masih tergenggam erat dan earphone-nya masih terpasang di kedua telinganya. Aku menghentikan laju kursi roda itu di dekat sebuah kursi taman dan menaruhnya persis disamping kursi itu. Aku sendiri kemudian duduk di kursi taman itu..
Sesaat kami berdua hanya diam, menatap lurus ke arah sebuah diorama indah lukisan sang alam yang terbentang indah di depan kami. Sebuah potret matahari yang mulai concong hendak terbenam dibalik gedung rumah sakit dan juga sekelompok burung yang terbang mencari jalan pulang ke rumahnya berhasil membuat semua orang yang menatapnya akan merasa tenang dan tentram.
Mas gabriel melepas earphone-nya dan mulai memejamkan matanya sejenak, menghirup udara sore hari itu lalu menggumam pelan... “selamat sore ibu....“ Aku tersentak saat itu juga, ku tatap dirinya yang masih duduk dikursi rodanya dengan mata tertutup. Kulihat dia mulai membuka matanya perlahan dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku yang masih menatapnya tak percaya.
“Mengapa memandangku seperti itu?“
“A... enggak, mas gabriel… tadi mas.. hm, tadi mas bilang….“ Dia tersenyum tipis melihat aku yang mulai terbata-bata, tak bisa melanjutkan kata-kataku. Sungguh aku bingung bagaimana mengatakannya.. apa benar dia merindukan ibunya ? bukankah baru beberapa jam yang lalu ibunya pergi,..
“Aku hanya bilang, ‘selamat sore ibu…‘ aneh kah ? “ Aku diam, dia masih menatapku. Kali ini dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya, senyum tipisnya telah berganti sebuah senyum berbeda, sebuah senyum hangat untuk sahabat.
“Enggak, tapi.... ibu mas gabriel kan tidak ada di sini, lagi pula baru beberapa jam saja beliau tak ada di sini. Apakah sangat rindu?.“ Mas gabriel kembali mengukir senyuman di wajahnya ketika mendengar kata-kataku.
“Ibuku.....“
Dia diam sejenak. Ada perasaan aneh yang mulai muncul ketika mendengar sebuah kata yang keluar dari bibirnya barusan, entah perasaan apa itu. Tapi sepertinya hati ini mengenal nada ketika kata itu disebut, hati ini mengenal iramanya, bahkan hati ini sepertinya sanggup menyusun irama selanjutnya. Aku masih menatapnya ketika dia kemudian mengalihkan pandangannya dariku dan kembali menatap lurus ke depan, menatap sekelompok burung yang terbang semakin menjauh ke arah matahari yang mulai memerah dan membuat langit menjadi jingga.
“Ibuku sudah ada di tempatnya yang terindah...“
Aku terdiam. Hatiku tiba-tiba mengalunkan irama dan nada yang selama ini hanya menemani malam-malamku dan entah kenapa hatiku seperti tak dapat dikendalikan kali ini, irama itu mulai mengisi ruang-ruang di hati dan nada-nada itu mulai mengetuk-ngetuk palung hatiku. Hanya sebuah kalimat yang menjadi syairnya...
...IBU... di tempatnya yang terindah...
*****bersambung*****
Thanks udah mau baca. Maaf dikit, masih sibuk UAS... thanks a lot. Masih berlanjut kok ceritanya, koment please…
Maaf kalo gak sempat di-tag yah. ^_^ Love u all..
From Sivia’s Notes ... 8
Aku masih terdiam di tempatku, dua buah bola mata bening itu masih menatapku, masih bersinar, sejuk dan menentramkan batinku. Sungguh dimensi waktu terasa berhenti saat ini juga, hanya ada aku dan pemilik dua buah bola mata bening itu, semilir angin pun tak sanggup membuat dimensi berjalan di sekitarku. Semuanya hanya diam dan terpaku… dan bahkan bibirku tak mampu bergerak meski untuk satu milimeter sekalipun.
“Kenapa matamu sembab? Menangis semalaman?“ suara itu kembali terdengar dan membuyarkan semuanya, dimensi waktu perlahan kembali berjalan dan mulai berlari di sekitarku. Dua buah bola mata bening itu juga telah menghilang dari pandanganku, sepertinya sang pemilik sudah kembali mengalihkan pandangannya dari diriku yang masih menatap ke arahnya dalam diam.
“Eng... enggak kok mas. Mungkin cuma karena kekurangan tidur.“ Jawabku ragu-ragu sambil sedikit menyeka mataku, begitu sembabkah sampai semua orang bisa tahu bahwa aku menangis semalaman?.
Dia kembali diam, sepertinya sudah cukup puas dengan jawabanku. Aku tersenyum ke arahnya, sedikit mengangguk memberi syarat bahawa aku akan pamit keluar. Dia masih diam, tak menatapku lagi. Aku melangkahkan kakiku pasti keluar dari kamar melati itu, perlahan ku tutup pintu kamar itu dan semuanya selesai. Dan entah kenapa pertahananku luluh seketika... Sebuah bulir air mata jatuh dari mataku.. Segera ku hapus air mata itu agar tak ada seorangpun yang melihatnya.
*****
Matahari bersinar terlalu cerah hari ini, belum tengah hari saja suasana sudah sangat panas. Aku dan ify sedang duduk di kantin ketika waktu istirahat, mencoba menghilangkan dahaga dengan segelas es jeruk yang memang menjadi minuman faforit kami berdua.
“Via, udah mau cerita?“ Tanya ify sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya bisa kembali mengaduk-ngaduk es jeruk yang ada dihadapanku sambil menggeleng pelan. Ify menghelakan napasnya, sedikit kecewa sepertinya dengar tanggapan yang kuberikan.
“Maaf fy, tapi memang tak ada yang perlu diceritakan saat ini..” Aku mencoba menatapnya dan tersenyum ke arahnya. Dia hanya kembali menghelakan napasnya dan kemudian menikmati es jeruknya. Aku diam, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang sangat ku kenal tengah berjalan ke arah kantin. Sosok itu tersenyum ke arahku dan kemudian bergegas menuju mejaku dan ify.
“Via. Ibu boleh bicara sebentar? ” tanya ibu mas gabriel ke padaku. Aku mengangguk dan pamit pada ify, kemudian mengikuti langkah kaki ibu mas Gabriel yang sedikit menjauh dari meja kami tadi.
“Via, ibu mau minta tolong.. ” ibu mas gabriel mulai berbicara, aku mengangguk mantap. “Iya bu, kalau via bisa bantu akan via bantu...“
“Begini, ibu mau minta tolong agar kamu menjaga gabriel untuk beberapa hari ini. Ibu ada urusan ke luar kota sehingga tak bisa menjaganya. Lagi pula sepertinya Gabriel hanya bisa nyaman bersama kamu.“ Aku sedikit tersentak, sejumlah pertanyaan tiba-tiba hadir dibenakku. Apa maksudnya menjaga mas gabriel untuk beberapa hari ini? Urusan apa sebenarnya yang bisa membuat ibu mas gabriel terpaksa meninggalkan mas gabriel meski hanya bebarapa hari? Dan apa maksudnya mas gabriel hanya bisa nyaman bersamaku? Tapi... ah sudahlah, tak ada salahnya aku menolong, lagi pula hanya beberapa hari.. tak mungkin lama.
“Baik bu, via akan menjaga mas gabriel.“ Ibu mas gabriel tersenyum mendengar jawabanku.
“Terima kasih via. Kamu memang baik. Ibu pamit yah..“ ibu mas gabriel memelukku sejenak sebelum akhirnya melangkah pergi. Aku hanya mengangguk dan kemudian menatap kepergian ibu mas gabriel. Sosok itu kembali mengingatkanku pada ibuku.
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju mejaku dan ify tadi. Ify melihat ke arahku sambil mendelik sepertinya ingin tahu apa yang tadi kami bicarakan.
“Kenapa via?“ tanya ify, aku tersenyum ke arahnya dan menceritakan apa yang tadi disampaikan oleh ibu mas gabriel.
“Jadi untuk beberapa hari ini kamu yang akan menjaganya?“ Aku mengangguk mantap dan ify hanya tersenyum ke arahku.
*****
Jemariku perlahan membuka halaman selanjutnya dari diary yang ku pegang. Baris-baris kata kembali mulai menyapaku, huruf demi huruf yang terukir di kertas itu pun mulai menari-nari dihadapanku, dan kemudian bagai sihir semuanya kembali membawaku menyususri lorong waktu dan kemudian membawaku ke masalalu..
*****
Harum dedaunan pohon cemara di sore hari segera menyambutku dan mas gabriel ketika kami sampai di taman sore itu. Mas gabriel sengaja memintaku untuk mengantarnya ke taman sebelum kembali ke kamarnya sehabis menjalani cuci darah. Di tangannya MP4 playerku masih tergenggam erat dan earphone-nya masih terpasang di kedua telinganya. Aku menghentikan laju kursi roda itu di dekat sebuah kursi taman dan menaruhnya persis disamping kursi itu. Aku sendiri kemudian duduk di kursi taman itu..
Sesaat kami berdua hanya diam, menatap lurus ke arah sebuah diorama indah lukisan sang alam yang terbentang indah di depan kami. Sebuah potret matahari yang mulai concong hendak terbenam dibalik gedung rumah sakit dan juga sekelompok burung yang terbang mencari jalan pulang ke rumahnya berhasil membuat semua orang yang menatapnya akan merasa tenang dan tentram.
Mas gabriel melepas earphone-nya dan mulai memejamkan matanya sejenak, menghirup udara sore hari itu lalu menggumam pelan... “selamat sore ibu....“ Aku tersentak saat itu juga, ku tatap dirinya yang masih duduk dikursi rodanya dengan mata tertutup. Kulihat dia mulai membuka matanya perlahan dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku yang masih menatapnya tak percaya.
“Mengapa memandangku seperti itu?“
“A... enggak, mas gabriel… tadi mas.. hm, tadi mas bilang….“ Dia tersenyum tipis melihat aku yang mulai terbata-bata, tak bisa melanjutkan kata-kataku. Sungguh aku bingung bagaimana mengatakannya.. apa benar dia merindukan ibunya ? bukankah baru beberapa jam yang lalu ibunya pergi,..
“Aku hanya bilang, ‘selamat sore ibu…‘ aneh kah ? “ Aku diam, dia masih menatapku. Kali ini dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya, senyum tipisnya telah berganti sebuah senyum berbeda, sebuah senyum hangat untuk sahabat.
“Enggak, tapi.... ibu mas gabriel kan tidak ada di sini, lagi pula baru beberapa jam saja beliau tak ada di sini. Apakah sangat rindu?.“ Mas gabriel kembali mengukir senyuman di wajahnya ketika mendengar kata-kataku.
“Ibuku.....“
Dia diam sejenak. Ada perasaan aneh yang mulai muncul ketika mendengar sebuah kata yang keluar dari bibirnya barusan, entah perasaan apa itu. Tapi sepertinya hati ini mengenal nada ketika kata itu disebut, hati ini mengenal iramanya, bahkan hati ini sepertinya sanggup menyusun irama selanjutnya. Aku masih menatapnya ketika dia kemudian mengalihkan pandangannya dariku dan kembali menatap lurus ke depan, menatap sekelompok burung yang terbang semakin menjauh ke arah matahari yang mulai memerah dan membuat langit menjadi jingga.
“Ibuku sudah ada di tempatnya yang terindah...“
Aku terdiam. Hatiku tiba-tiba mengalunkan irama dan nada yang selama ini hanya menemani malam-malamku dan entah kenapa hatiku seperti tak dapat dikendalikan kali ini, irama itu mulai mengisi ruang-ruang di hati dan nada-nada itu mulai mengetuk-ngetuk palung hatiku. Hanya sebuah kalimat yang menjadi syairnya...
...IBU... di tempatnya yang terindah...
*****bersambung*****
Thanks udah mau baca. Maaf dikit, masih sibuk UAS... thanks a lot. Masih berlanjut kok ceritanya, koment please…
Maaf kalo gak sempat di-tag yah. ^_^ Love u all..
Langganan:
Postingan (Atom)